Sabtu, 28 November 2015

Terdampar


Gate B7, Sabtu, 26 September 2015

      Setelah menyelesaikan tetek-bengek, seorang petugas menunjukkanku toilet dan musala. Pantasan saja setelah berkeliling tempat itu aku tak menemukan apa-apa, ternyata   toilet tersebut berada di lantai bawah, lebih tepat jika dikatakan lantai bawah tanah (karena hanya ada toilet dan musala di sana).
  Awalnya aku berniat bisa sekalian beristirahat di sana. Ternyata, tempat tersebut kosong melompong. Dengan perasaan was-was aku bersuci dan melaksanakan salat Isya. Pada rakaat kedua, terdengar suara "Pssst", setelah sujud aku pun menoleh ke belakang. Imanku sungguh rapuh, perasaan takut lebih dulu menguasai. Dengan tergesa-gesa, aku kembali mengulang salat dan memutuskan untuk kembali ke atas. Baru kusadari, setelah akal sehatku pulih kembali, suara tadi ternyata berasal dari pengharum ruangan. Bodohnya aku, sungguh lemah imanku. T_T
   
   Di atas tak seperti tadi lagi. Di depanku tak ada yang menonton televisi yang suaranya lambat mengisi ruangan melebar itu. 

Kulirik sebelah kiriku hanya kursi kosong yang berjejer. Kuputar kepala, sebelah kanan pun tak berbeda. 

   Dengan berat hati kubalikkan badanku, ternyata ruangan itu memang kosong.









 
    Terdampar sendirian di ruangan ber-AC, hanya buku Maryam karya Okky Madasari yang masih setia menemani. Telepon genggamku tak lagi berbunyi, bertanda makhluk-makhluk di seberang sana telah bergalung di bawah selimutnya. Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 11 malam lewat. Hanya aku sendiri dan sesekali ada petugas silih berganti lewat dan menatapku dengan prihatin. 



Bermalam di Bandara         
    
    Ternyata, pengalaman sebelumnya belum membuatku kapok. Kali kedua aku menjadi penunggu bandara. Sebelumnya, lebih kurang delapan jam di bandara mulai dari pagi hingga senja masih bisa kunikmati. Lantaran, kurang matangnya perencaan.
    Lagi, aku mengulang hal sama. Bedanya, kali ini aku memilih waktu transif malam hari. Pukul 20.10 WIB aku telah mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Dan tahukah Anda? Pesawat yang akan menumpangiku ke Makassar akan berangkat pukul 05.00 WIB. Bayangkan berapa lama aku menggembel seorang diri di ruang tunggu. Senyaman apa pun tempatnya, kalau seorang diri ditambah suasana mendukung, sumpah! Tetap saja horor.

Niat baik dan buruk itu ternyata memiliki cara serupa
   Jarum jam menunjukan pukul 1 lewat. Dua orang pemuda ketimuran (kulit sawo matang dan rambut keriting) memasuki ruang tunggu terminal 1B. Ada perasaan lega sekaligus bertambah was-was. Kali ini, bukan perasaan takut akan hal gaib yang menguasai hatiku, tapi perasaan takut akan tindakan kejahatan yang dilakukan manusia. Karena bisa dibayangkan dengan ciri-ciri yang kusebutkan tadi, bagaimana konflik batin yang terjadi di hatiku? Seorang gadis cantik, berkulit kuning langsat (tolong jangan dibayangkan ini) ditemani dua orang pria dengan rupa yang jarang sekali tertangkap langsung di mataku.
   Sesekali lirikan mataku beradu dengan mereka. Entah karena terusik kupandangi dengan ujung mata atau apalah, mereka pun berdiri dan mendekat. Eh, ternyata mereka menuju pintu keluar. Aku pun  kembali lega, tapi suasana mencekat kembali terasa. Aku mengalihkan pikiran ke novel yang kubolak-balik saja sejak tadi. Melanjutkan membaca novel yang berkisah tentang kehidupan seorang Ahmadi.
    Tak lama berselang, suara langkah kaki terdengar di belakangku. Kuputar kepala sedikit ke kanan dan dua sosok makhluk pria itu kembali menampakkan wujudnya. Rupanya, mereka keluar sesaat untuk membeli pengganjal perut. Mereka melewatiku yang memang hanya menunduk saja dan berpura-pura asik dengan novel. Mereka kembali duduk di tempat semula, di depanku sebelah kiri.


    Sambil membuka bungkusan snack, salah satu dari mereka, pria berbadan sedikit kurus itu menuju ke arahku dan berkata, "Kerupuknya, Mbak," aku pun mengangkat kepala dan mengangguk (sebenarnya menandakan tidak) dan mengucapkan terima kasih. Ternyata dia tidak hanya sekadar basa-basi saja, bungkusan lumayan besar tersebut diletakkan di bangku kosong sebelahku.
   Aku galau. Memakannya jelas aku tak berani, membuang apa lagi, aku takut akan dianggap tak tahu etika. Di antara perasaan bimbang tak bisa memutuskan apa-apa, ternyata ada seorang makhluk abstrak (peace bagi yang merasa) yang mengomen iseng dp BBM-ku dengan menakut-nakuti gadis lugu yang memang ketakutan ini. Kumanfaatkan kesempatan tersebut untuk meminta wejangan. Dengan sangat bijak sebut saja Acek menyarankanku untuk mengambil dan memegang kue tersebut tapi jangan dimakan.
          
   "Setelah tak ada orang tersebut baru di buang," tegas Acek.
   Akhirnya aku pegang sebiji, setelah kulirik-lirik sepertinya orang tersebut takkan beranjak dan bungkusan itu masih teronggok di sampingku. Kemudian aku memutuskan untuk memasukkannya ke dalam tas ranselku. Akhirnya setelah sampai di Makassar baru kubuang setelah kubawa berkeliling hampir seharian. Karena dua pria itu menumpang pesawat yang sama denganku. Wajar saja jika ciri-ciri mereka seperti itu, ternyata mereka berasal dari Sulawesi Selatan.
   Siapa yang tahu maksud dari si pemberi. Saat ini, tipu muslihat sangatlah banyak, terkadang dengan cara yang sama bisa menghasilkan dua niat. Niat baik dan buruk. Apapun itu, aku berterima kasih kepada mereka telah menemani malam sunyi itu dan mengalihkan pikiran horor dari otakku. Maaf, jika seandainya niat baik kalian kubuang begitu saja. ***