Selasa, 12 Agustus 2014

Tak Ada Ukuran Waktu Untuk Cinta



Malas sekali rasanya meladenimu, hanya keterpaksaan yang membuatku harus melayani pertanyaanmu yang jelas sekali terasa seperti modus. Awalnya hanya ingin berusaha bersikap manis karena tuntutan sebuah profesi yang diamanahi kepadaku. Aku pikir kau tak berbeda dari makhluk adam lain yang kukenal. Hanya suka mengganggu gadis polos sepertiku, singgah sebentar dan berlalu pergi meninggalkan goresan tak berarti.
***
Malam itu pertama kalinya aku mengenalmu, walau bernaung di jurusan yang sama tetapi wajahmu memang asing di mataku. Mungkin karena aku termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitar. Aku terlalu sibuk membuang waktu sekadar jadi pengamat lingkungan tanpa bisa mengubah sesuatu. Jadi aku lebih tertarik untuk menggeluti sesuatu, mengisi ruang waktuku yang kosong.
Tak ada jabat tangan sebagai salam perkenalan kala itu, kurasa senyuman sudah mewakili sebuah kebiasaan yang berlaku di negara kita. Kemudian cerita mengalir, awalnya hanya sekadar basa-basi, lalu berlanjut alot karena kau menimpalinya dengan hangat. Jangan heran jika sudah connect aku bisa membunuh kediaman yang tercipta dengan celotehan-celotehanku dan ternyata kau berhasil mengimbangi deretan kata yang kukeluarkan. Sehingga jam terasa berputar begitu deras dan memisahkan malam kita.
Malam itu pun bergulir dan menemukan kita kembali di lapangan pagi berikutnya. Rasanya aku tak terlalu bisa merekam wajahmu, karena pertemuan pertama kita ditemani cahaya rembulan. Tetapi, tatapanmu yang teduh menyakiniku bahwa aku tak salah orang. Dan berikutnya kita saling menghiasi hari, mengukir cerita, dan melukis kisah kita berdua tanpa terlewati.
Aku senang sekali menggodamu, bahagia saja melihat raut wajah yang kau pasang untuk menanggapi tingkah kekanak-kanakanku. Memanggilmu, dan kau langsung membalasi dengan kata “iya”, aku kembali mengulangi, “Abang” dan kau menimpali “aa?”, aku merajuk dengan berdalih kau meninggikan suaramu padaku. Dan dengan raut mengalah di mukamu membuat aku tersenyum puas.
***
Kau pernah tanyakan aku, sesuatu yang tak pernah bisa diterima logikaku.
“Kamu percaya cinta pertama?” Kata tersebut sungguh menggemaskan di telingaku, sesuatu yang terdengar terlalu penuh tipu muslihat. Karena kupikir semua butuh proses dan tak ada yang instan.
Dan tanpa diduga, kau mengaku merasakan hal tersebut kepadaku. Detik itu sungguh aku tak mempercayaimu. Aku tak ingin ini berganti dengan sebuah status baru. Karena aku nyaman dengan keadaan ini, dimana aku bisa menunjukan watakku yang sebenarnya kepadamu, tanpa harus dibaluti dengan kepura-puraan karena sebuah status hubungan. Syukurlah kau tak menuntut untuk kutimpali hal serupa, kupikir kau hanya mengungkapkan tanpa membutuhkan jawabannya. Kau tahu kenapa aku menyukai suatu hubungan tanpa status yang mengikat? Karena aku tak mau kita saling membenci dikemudian hari. Aku ingin tetap begini, menikmati debaran-debaran di hati saat bersamamu. Dan tak akan kecewa jika suatu saat kau tak ada untukku, karena memang jelas kita tak pernah menjalin suatu kesepakatan untuk saling bersama.
Tanpa perlu dinyatakan kedekatan kita sudah membuktikan, kita tak rela untuk saling berbagi hati dengan yang lain. Sampai suatu ketika, kau mulai meminta kejelasan mengenai hubungan kita. Jujur aku nyaman dengan keadaan ini, tanpa ikatan tapi kita saling berbagi dan berusaha melengkapi. Walau terkadang gerak-gerikku sudah melukiskan perasaan yang senada denganmu. Tetapi, rasanya tidak adil saja bagimu. Dengan penuh keragu-raguan kata ini pun akhirnya keluar dari bibirku,
“Mari kita coba,” dan kau cukup pintar mengartikan kataku.
***
Aku terlalu sering mempertanyaan hubungan-hubungan yang janggal menurutku ini. Aku selalu mempermasalahkan “waktu”. Padahal tak ada yang salah dengan waktu, hanya saja karena hitungan waktu yang terlalu singkat memulai sebuah hubungan. Kau meyakinkanku bahwa hubungan ini juga suatu proses untuk kita bisa lebih saling mengenal. “Nggak ada ukuran waktu untuk sebuah cinta”, kata-katamu itu berhasil memelukku dengan damai.
***
Terselubung sebuah tekad yang kuikrarkan dalam hati
Dan kau tahu
Kau adalah orang yang berhasil meruntuhkan tekad yang kubangun
Tega sekali kau!
Memunculkan wajahmu di bawah rembulan

Kau tahu? Ada sebuah kalimat yang sedetik sebelum bertemu denganmu masih kuat kupegang. Kalimat yang kusemayamkan dalam hati setahun lebih yang lalu. Sebuah rasa yang akan kusimpan sampai menurutku telah cukup waktu untuk dikeluarkan. Itu adalah mengenai sebuah tekad yang tak akan bermain hati lagi, karena aku tak mau tenggelam dalam emosi cinta yang tak akan kuasa kubendung nantinya. Plin-plan sekali aku jadi orang, hitungan hari yang kukenal bisa menghapuskan suatu prinpsip yang kuat kepegang selama setahun ini.
Bukan alasan lagi bagiku untuk bersenang-senang saat bermain dengan hati. Bagiku putus adalah sebuah kegagalan. Mungkin dalam keababilan dulu, memiliki banyak adalah sebuah kebanggaan (*mungkin), tetapi yang kurasa kini bangga sedikit pun tak pantas untuk melekat. Aku gagal, gagal dalam beberapa rajutan hubungan. Dan itu berdampak sekarang yang membuatku mearsa sungguh tak nyaman dengan sejumlah pria yang sempat kuharapkan menjadi lelaki terhebatku setelah Papa.
Tak semua orang bisa memahami rasaku ini, tetapi bagiku waktu sudah cukup memberiku waktu untuk kembali membangun pondasi kebersamaan kembali. Dan kau adalah orang yang kupilih untuk membantuku merajut lagi sebuah hubungan dengan benang kepercayaan tanpa berharap putus oleh waktu yang begitu deras mengalir.

Senin, 11 Agustus 2014

Untuk Wanita yang Kupanggil Mama



Aku yang dari dulu suka sekali membututimu, dan tak ikhlas jika kamu tinggalkan. Padahal kalau pun aku ikut, aku hanya akan mendesak-desakmu untuk segera pulang. Itu jelas sekali membuat Mama kesal kan? Mungkin itulah alasan kenapa Mama sering tak mengajakku ikut serta jika pergi, karena aku gadis yang rewel. Tetapi, aku tak pernah jera, dan kebiasaanku itu masih berlaku hingga sekarang ketika aku pulang ke rumah.
Boleh aku sedikit bercerita, Ma? Aku yakin Mama mengangguk mengiyakan, karena aku tahu, penolakan tak akan rela keluar dari mulutmu. ^_^
***
Ketika liburan semester ini, aku kembali membututimu dengan ikut serta mengobrak-obrik pasar untuk keperluan perut sekeluarga. Semuanya menggiurkan, dan kita berbelanja banyak waktu itu. Termasuk dengan keinginanku yang pengen ini dan itu. Aku tahu itu pasti akan berat, bukannya sok pahlawan, tetapi tenagamu dan tenagaku itu tak terlalu kontras berbeda. Aku menawarkan membawakan belanjaan tersebut, karena itu jelas sekali berat untuk Mama bawa sendiri. Tapi hanya kantong ringan yang Mama beri kepadaku. Tentu aku tidak puas, dan meminta kembali yang ada ditanganmu. Tetapi Mama berkata baik-baik saja, dan tak mau memberikannya kepadaku. Mama tahu, detik itu juga aku tersentak hebat, ternyata aku masih putri kecilmu yang tak rela kau lihat kesusahan. Panas rasanya mataku, hal kecil saja sudah cukup membuktikan, bahwa kau begitu menyayangiku.
Mama tahu pasti aku anakmu yang paling keras hati. Sering berdebat denganmu untuk hal yang kupertahankan, memang begitu tabiatku, bersitegang untuk hal yang kuanggap benar, kurasa itu  sering membuatmu bersedih. Pun, terkadang gaya bicaraku membuat orang beranggapan kalau aku sering meninggikan suara terhadapmu. Tapi Mama tahu kan, aku tak bermaksud melukai hatimu, aku hanya mengeluarkan emosiku. Aku yakin, Mama lebih tahu aku dari pada diriku sendiri, karena aku anakmu. Aku tak peduli orang mengatakan aku tak berhati-hati menjaga hatimu, yang terpenting bagiku adalah aku paling tak rela hatimu terluka karena tajamnya diriku. Rasanya terlalu banyak jika aku harus melakukan pengakuan kesalahan-kesalahanku padamu di sini. J
“Maaf”, mungkin empat huruf tersebut belum mewakili kekhilafan yang kulakukan, setidaknya aku berharap kata tersebut menunjukan bahwa aku menyesal telah menambah butiran-butiran duka di hatimu, Ma.
***
Aku tak ingin mengucapkan “SELAMAT ULANG TAHUN MA”, karena kata tersebut jelas membuat waktu semakin mengurangi jatahku berlindung di tempat ternyaman di dunia ini, yaitu di pelukanmu. Tetapi, aku juga ingin kau tahu aku bahagia di detik ini, karena Allah masih menganugerahiku setahun ini dalam kebersamaan kita.
Ini adalah doa yang kuselipkan ditahunmu yang kembali berulang, semoga kebersamaan tersebut kembali menyentuh kita di tahun-tahun yang akan datang. Kini angka 4 didampingi angka 4, itulah usia yang terhitung sejak kelahiranmu, 44 tahun yang silam.
Terima kasih telah mengapdikan lebih dari separuh hidupmu untuk kami. Keluarga kecil yang bergantung pada tangan hangatmu, yang membuat perut ini kenyang terisi makanan yang lezat. Aku bahkan sering sewot, melihat Mama harus seharian di dapur ketika keluarga besar kita berkumpul. Bahkan aku berkata, “memangnya Mama pembantu mereka”, kini aku tahu jawabannya, mereka bukannya malas, tetapi masakan Mama memang nikmat ditambah keikhlasanmu untuk melakukannya.
Terima kasih masih menperlakukanku seperti gadis kecilmu, tak ada sesuatu pun yang berubah dari caramu memperlakukanku, kecuali kecemasanmu yang bertambah. Karena gadismu ini sudah beranjak dari pangkuanmu dan kini memijak dunia dengan kakinya sendiri. Jangan takut Ma, aku takkan merengek-rengek kalau kaki ku terinjak duri lagi. Hehhe
Terlalu banyak daftar terima kasih yang harus kulantunkan jika mengingat semuanya. Karena kata terima kasih tidak akan bisa terlepas dari sosokmu, dan tak akan pernah habis untuk kuucapkan kepadamu. Jadi untuk mewakili semuanya, aku akan menyingkatnya saja, terima kasih untuk segalanya, Ma. Wanita tertangguh yang memeluk hidupku, bangga memilkimu.
Terima kasih telah menjadi Mamaku.
Wici sayang Mama..