Jumat, 16 Desember 2016

Jangan Terungkit


Dahulu, ada kepribadian aneh yang bersemayam. Ia terlahir tanpa sepengetahuan. Ia hidup dalam ketidaksadaran. Namun ia selalu ada bak pahlawan. Dengannya aku terlihat menawan. Akhirnya, aku terbiasa bersembunyi dibaliknya, saat keadaan runyam. Ia adalah topeng yang membuatku terlihat bagak.

Hingga akhirnya kusadari. Jika selalu mengandalkannya, tak akan ada yang tersisa kecuali tubuh dan jiwa yang masih bernama. Karena ia akan melumat habis diriku. Dan menjelmakanku serupa inginnya.

Memang, hal berat dalam hidup adalah jujur dengan keadaan diri sendiri. Teringat pesan seseorang yang telah kuanggap sebagai kakak. "Jika sedih, sedihlah. Jika tersakiti, bilang sakit. Jika ingin diperhatikan, bilang ingin. Semua harus jelas. Sebab, manusia bukan dukun semua, yang mampu mengartikan makna yang tersimpan dari balik sikap kita".

Aah itulah masalah terbesar dalam diriku dulu. Tak ingin terlihat lemah dan dikasihani orang. Hingga aku berkutat
dalam wujud yang membagak. Menerjang dengan ganas saat merasa terugikan. Tapi apa yang kutemui? Ada jiwa dalam tubuh ini yang semakin terluka. Ada hati yang meraung ingin dimengerti. Ada harap yang semakin menganga. Namun sayang, jika tak disuarakan, tak ada yang mendengar jeritan hati.

***
Semenjak aku mengenal seseorang, lambat-lambat topeng itu terkelupas. Aku menjadi diriku lagi. Sedih sewajarnya, bahagia sekadarnya. Dan berusaha mensyukuri semuanya.

Terkadang, ada perasaan tak ingin menampilkan hati yang berkecamuk. Lalu ia yang mati suri itu bangkit kembali. Pernah, aku disurupi olehnya dan membagak lagi. Berharap melukai dia, malah semakin melukai diri sendiri. Beruntung ia bukanlah mereka dulunya. Ia adalah lelaki berbeda, yang membuatku percaya bahwa masa depan tak akan kelam.

Terima kasih Coklat.
Percayalah, aku hanya tak ingin terlihat berharap dan lemah. Jika aku pernah dan mungkin berbuat seperti itu lagi, yakinilah aku jauh merasa lebih buruk. Aku tengah berusaha menguburnya, agar ia tak bangkit lagi suatu ketika. Terima kasih masih senantiasa bersabar sembari menungguku mendewasa dengan baik.

***

Untuk sesuatu yang melingkari jariku saat ini. Terima kasih telah mengikatku dengan lambang kasih yang manis. Selain tentang waktu tak ada yang patut kuragui darimu. Bersamamu serasa masa depan kita semakin dekat. Semoga.


Jumat, 18 November 2016

11 dan 58-nya Papa

Pada tanggal 11 di bulan 11 tahun ini, pria yang lahir di tahun 1958 itu juga memasuki umur 58 tahun.

***
Tahunnya kembali berulang. Tapi, tak sedikit pun kata selamat keluar dari mulutku. Padahal kata itu identik dengan berulangnya tahun kelahiran di seluruh dunia.

Lupa? Tentu tidak, sedari tanggal 11 November tahun lalu, aku sudah mengingatnya untuk tahun ini. Karena jauh? Tidak! Demi itu aku menempuh perjalanan lintas provinsi seharian. Tak peduli? Salah! Hanya untuk itu aku mencutikan diri sejenak.


Lalu kenapa???
Ada suatu hal yang membatu. Mengakibatkan lidah ini kelu hanya untuk berujar kata selamat ulang tahun padanya. Bibirku kaku untuk bergerak mengejanya. Dan hatiku gentar untuk melisankan ucapan itu padanya.

Pada siapa???
Dia. Ya dia. Lelaki yang telah kukenal seumur hidupku. Yang suaranya pertama kali tertangkap oleh telingaku. Membisiki seruan Tuhan melalui ikamah yang dialunkannya.
Kalian tahu? Padanya aku menemukan tempat ternyaman di dunia ini, yaitu di dekapannya. Dia yang tak ragu meninggalkan segalanya demi seorang Wici yang bersemanyam dalam tubuhku ini.
Lelaki itu kupanggil Papa. Iya, pria mamaku.

Ingin tahu, Pa?
Untuk seorang ayah yang darahnya mengalir di tubuh ini, kenapa aku sangat pelit menyuarakan morfem "selamat" padamu, Pa?
Jawabannya, karena aku membenci sebuah perayaan atas berkurangnya kebersamaan kita. Bagiku tak ada yang perlu diselamati atas berkurangnya jatah usia. Seremonial yang tak selayaknya dirayakan.

Namun, aku takut lupa bersyukur atas kebersamaan yang telah dikarunia oleh Tuhan ini. Hingga untuk itu aku menuliskan ini semua.

Terima kasih untuk segalanya, atas sepanjang masa yang tak terkira ini. Terima kasih selalu mendukungku berjuang atas kehidupan ini. Terima kasih masih bersabar demi janji-janjiku yang tak pernah kau tagih. Terima kasih telah menyediakanku sebidang bahu kokoh untuk tempat bersandar. Terima kasih telah menjadi pria setia di samping Mamaku. Terima kasih telah menjadi ayahku dan Uda, Pa. Karenamu aku tak mengenal kata menyerah akan dunia ini.

***
Tanggal 11 pada bulan 11 di tahun 1958 beliau dilahirkan ke dunia ini. Pada tanggal 11 bulan 11 tahun ini, beliau berumur 58 tahun. Sehari setelah itu diperingati sebagai hari ayah. Papa, selamat ulang tahun dan selamat hari ayah, Pa.

(Aku mengingkari kebencianku atas kata "selamat" demi mengenapkan momentum bertambahnya umur di dunia kita ini. Bukankah ulang tahun identik dengan ucapan itu?)
^_^

Jumat, 04 November 2016

Menulis dan Produktifitas

Jika menulis hanyalah suatu hobi, tentu bisa dilakukan sesuka hati. Namun bagiku menulis adalah kebutuhan.

***
Biasanya aku suka menjadikan tulisan sebagai perantara bagi hati yang gundah. Bercerita dengan bebas tanpa hambatan. Mencurahkan risau tentang hari yang terlewati. Bercengkrama dengan hiruk pikuknya pikiran. Menuang segala bentuk emosi yang tertahan. Mengadu pada kata-kata. Hingga sesakku serasa terangkat.

Alasannya sederhana. Tak ingin menulari galau pada yang lain. Lebih dari itu, aku tak ingin semakin terpuruk jika berkeluh pada yang lain.

Menjadi orang yang perasa membuatku sangat sensitif. Ditolak sedikit saja butuh ribuan detik untuk memulihkan ketidakenakan yang bersarang di hati. Dipatahkan saja ketika membagi iba membuatku semakin mengiba. Lalu aku memilih mendiam. Hingga menguatkan pola pikirku bahwa memang tak patut bercuap-cuap tentang hati yang berduka.

Lebih dari itu aku butuh bahan untuk menuntaskan kebutuhanku. Dan menulis bagiku adalah kebutuhan.

Ini hanya bahan untuk memenuhi kebutuhanku.

Rabu, 26 Oktober 2016

SENJA

Aku selalu jatuh hati pada jingga di ufuk barat. Langit dengan bias-bias kemerahan. Ada mega keemasan yang berarak. Biasanya para manusia di belahan bumi ini menyebutnya senja. Katanya, ketika senja matahari akan malu-malu dan bersembunyi. Tenggelam bersama siang. Menyisakan warna merah keorenan di langit.

Kau tahu? Aku adalah pengagum senja. Bersama senja adalah waktu yang kunantikan. Pada senja, aku belajar suatu hal. Tentang kehangatan. Memandangi senja serasa dipayungi kasih dan sayang.

Untukmu, aku ingin menjadi senja. Yang tak pernah ingkar. Penawar dahaga yang menderamu seharian. Memelukmu dengan kasih. Ya, layaknya senja. Penuh kehangatan.

***
Beberapa waktu lalu ketika diperjalanan pulang kantor bersama senja, aku menyempatkan diri untuk menatap jingga di ufuk barat itu. Aku telah berjumpa senja seumur hidupku, tetapi ia selalu berhasil membuatku terpukau. Jangan heran aku bisa berhenti hanya untuk sekadar memuja waktu yang membatasi siang dan malam itu.

Kali itu, ada asa yang kulampungkan kesana. Perihal makhluk ciptaan Tuhan yang membuatku berucap syukur mengenalnya. Kusebut kau dalam syukur. Berkatmu dendam yang membatu telah terkikis. Bersamamu aku lupa cara membenci. Dan mengingatmu adalah kesenanganku.

Bukankah itu wujud dari bahagia? Tentu. Biar dunia tahu bahwa aku tak akan ingkar mengakui kebahagiaan ini. Ada kehangatan yang menyelimuti hubungan ini, selayaknya senja.

Senin, 24 Oktober 2016

MENDIAM

Selain di atas sajadah, aku memilih mendiam.

Tentang para hal berat yang susah untuk disuarakan.

Ada resah yang berbongkah.
Ada sendu yang membatu.
Ada pasrah yang tak berarah.

Mendiam adalah cara untuk menjinakkan lidah yang tak bertuan.
Mendiam adalah siasat agar tak memicu amarah.

Mendiam bukan perihal melunggukkan dendam.
Mendiam adalah upaya berdamai dengan takdir.
Tak mesti berurai untuk dipahami.
Tak perlu mengemis untuk dimengerti.

Hingga mendiam menjelma menjadi sesosok dewasa nan anggun.

Rabu, 12 Oktober 2016

Nama, Bekal Makan Siang, dan Cinta ‌


Bekal Cinta

Di masa lalu ada dua nama yang menyita kehidupan. Nama yang ingin kutinggalkan saja di masa itu. Nama yang mengajarkan akan arti pengkhianatan. Nama yang merenggut kesetiaan. Dan nama yang tak kulafaskan lagi di mulut.

Namun jauh sebelumnya, salah satu nama tersebut telah lebih dulu kusandang diakhir namaku. Hingga aku yang biasa bangga dengan nama kepanjanganku, menyingkat-nyingkatnya agar nama tersebut tak menyeret kenangan itu ke masa kini.

Aku bertakdir dengan nama itu.
Walau berbagai cara menghindari nama tersebut, namun aku telah bersurat dengan itu. Di kehidupan sekarang, aku kembali bergumal dengan nama itu. Seorang rekan kerja, yang kupanggil Kakak bernama itu. Awal perkenalan kami saat akan mengikuti tes psikotes. Lidahku kelu saat ia menyebut namanya, tetiba kisah masa lalu terputar kembali. Bagiku yang masih baru akan kota ini dan baru mencicipi tes masuk kerja tertolong dengan sikap kekakak-annya (karena memang ia lebih tua dariku). Ia mengayomiku dan dengan tawakal menjadi penunjuk jalan berkali-kali untuk arah yang sama demi seseorang yang navigasinya kacau sepertiku.

Lalu, kami selalu bersama karena berada di ruang kerja yang sama walau berbeda divisi. Disela waktu, kami bertukar kisah dan makan siang bersama. Hingga pada suatu hari, lidah ini telah kebal mengunyah masakan luar, ia pun dibekali kotak makan siang oleh mamanya. Andai mamaku juga berada di sini, maka makan siang kami tentu akan saling bertukar. Ia mencicipi bekalku, begitupun aku. Namun, gadis rantau sepertiku tak akan sempat membekali dirinya.

Pada bekal makan siangnya, aku belajar perihal cinta yang tak pandang perkenalan. Kami hanya saling mengenal melalui cerita Kakak. Aku yang tak pernah bertatap muka dengan beliau dan belum pernah mencium tangan ibunya juga dibekali makan siang.
Ia berujar, "Anggap saja Mama Kakak adalah mama kamu di kota ini, asal jangan dipeluk-peluk". Ah gimana mau meluk, ketemu aja belum pernah. Haaha. Walau aku memang rindu pelukan karena didera banyak pikiran dan kerjaan.

Terkadang ia malah bertanya, aku lagi pengen makan apa? Atau kamu suka ini atau itu tidak? Ah, ia pasti tahu aku penikmat segalanya, kecuali jengkol dan petai. :D

Namun ketika aku berucap tentang makanan yang kurindui, esok atau lusanya makanan itu akan nongol di bekal kami.

Andai mamaku tahu anaknya seperti benalu saja, mungkin ia akan bersedih. Orangtuaku tak pernah keberatan aku menghabiskan berapa pun uang untuk lambungku. Ia selalu berpesan, kalau ingin sesuatu, belilah! Jangan ditahan.

Ini perihal lidah yang merindukan masakan penuh cinta. Dan dari bekal itu, aku juga dibekali kasih. Tentang makanan yang lebih sehat jika masuk ke dalam tubuh ini. Begitu kata Kakak.

Untuk Kakak, sedari kecil aku selalu berangan-angan memiliki kakak perempuan yang bisa kuajak bermain dan menampung ocehanku. Terima kasih telah membawakanku bekal makan siang.
Untuk Mama, terima kasih telah menyiapkan bekal makan siang pada anak yang belum pernah kau jumpai.

Aku merasa beruntung memiliki kakak dan mama di perantauan ini. Aku dikeliling kebaikan dan bersyukur atas kehidupan sekarang. Lalu ia menjawab, "Tentu di masa lalu kamu juga berbuat baik kepada yang lain". Aku tak peduli tentang itu Kak, yang ingin kuingat adalah kebaikan-kebaikan semua hingga aku tak pantas lelah berucap syukur.

#bersambung

Jumat, 09 September 2016

PILIHAN


Saya telah nyebur, mau keluar atau di dalam tetap saja sudah basah. Saya coba nyelem, untung-untung bisa berenang. Jika tidak, ya sekalian saja tenggelam.

***
Saya masih goyah. Labil sekali. Gampang terbawa arus. Dengar sini saya oleng, dengar sana saya timbul. Tak ada yang salah dari mereka. Mereka hanya bercerita tentang nasib. Tetapi, nasib saya kan belum tentu serupa mereka. "Apa salahnya mencoba?" Iya, itu tak salah. Yang tak benar adalah saya dilema. 
Ini hidup saya! Memang.
Ngapain pikiran kata orang! Benar. Namun, bukan saya saja yang hidup di hidup ini. Masih ada mereka. 

Saya merasuki keyakinan, bahwa ini tidaklah sulit. Selalu ada jalan untuk orang yang berusaha. Selalu ada pintu untuk orang yang punya tujuan. Selalu ada kunci untuk orang yang mengetuk. Dan selalu ada Tuhan untuk orang yang berdoa. 

Mesugesti diri akan hal positif tidaklah gampang. Banyak godaan yang datang silih berganti. Banyak gonjang-ganjing yang menggentarkan hati. Banyak tatapan yang tak memercayai. Dan banyak kesilapan yang tak disengajai.

Hanya saja ini masalah pembuktian diri. Saya bisa seperti mereka. Menyetarakan mereka atau bahkan lebih. Tentunya dengan cara yang termuliakan. "Berusaha di atas rata-rata dan memberikan yang terbaik". Bukankah itu yang saya yakini dan melayakkan saya sampai kini. Bukankah itu yang selalu saya koar-koarkan ketika lelah menggerayangi. Jangan lakukan apa yang rata-rata dilakukan orang-orang, tapi lakukanlah di atas kebanyakkan orang. Persembahan versi terbaik dari diri. Biarkan mereka merasai bahwa sesuatu yang dilakukan dengan penuh usaha lebih nikmat.

Jumat, 02 September 2016

Sebuah Cerita


Coklat dan Keju :P




Aahh, tempat ini sudah berdebu. Terlalu lama kuabaikan. Padahal saat dirudung banyak masalah, aku selalu berurai di sini. Sebenarnya bukan karena aku terbebas dari masalah akhir-akhir ini. Hanya saja, aku kembali terlena akan kesibukan hingga menumpulkan kesenangan ini.

Kemarin, seorang teman melalui media sosial berujar. Ia suka membacai tulisan-tulisanku. Menyadarkanku bahwa curahan receh ini pun ternyata bisa dinikmati orang-orang. Ia berkata, sering merasakan apa yang aku tulisi. Memang ini adalah wadah bagiku untuk berkeluh kesah. Tak perlu menulikan telinga orang lain. Dan tak menimbulkan gibah. 

Lagi, kemarin, kembali teman lain menyapaku. Berkata bahwa Cerpen Anak yang kutulis dimuat di salah satu media cetak. Aku bahkan telah lama tak memantau lagi media cetak dan online yang memuat tulisanku. Jika tak dikabari teman, aku tak pernah tahu. Mungkin, ada tulisan-tulisan lain yang tak kusadari telah dipublikasikan juga. Terenyuh, aku semakin berjarak dengan duniaku. 

Sini aku ceritakan.
Kenapa aku bisa lupa untuk berkeluh-kesah di sini? Kenapa aku bisa hidup dengan tenang, walau banyak omongan aneh tentangku karena suatu hal? Kenapa aku terlihat sangat bahagia?
Aku hanya telah menemukan dia. Dia yang bisa kucurahi apa saja. Tak peduli itu wajar atau tidak. Tak pikir, apa ia paham ocehanku yang tak menggunakan EB (Ejaan Bahasa) yang baik dan benar. Tak masalah, jika aku ngomel-ngomel tentang suatu hal yang tak berkesudahan. 
Entahlah. Ia adalah kenyamanan. Sejak ada dia, aku lupa untuk menulari galau pada pembaca yang mengintip ini. hehehe.

Bagiku, mengingatnya saja sudah mendamaikan. Padahal aku tak pernah menyukai sebuah publikasi serupa ini. Aku tak peduli tentang pengakuan publik. Hanya saja, kali ini aku ingin dunia tahu bahwa memilikinya adalah sebuah kebanggaan. Aku ingin alam semesta tahu bahwa aku bahagia. 
#Curang dong, ketika merasa dikepung masalah, aku bercuap-cuap di sini. Jadi, sudah semestinya, ketika bahagia pun kutorehkan di sini. ^_^

Karena hidup adalah perputaran. Tak mungkin selama merana. Namun, ketika telah merona, akan kuperjuangkan hingga tak ada celah untuk kembali.

Pekanbaru, 27-28 Agustus 2016, kami menggila bersama. Di senggang waktu kerjanya, ia menghampiriku. Aku menjemputnya di Bandara Sultan Syarif Kasim. Jika kuceritakan di sini mungkin pembaca tak akan percaya, bagaimana awal perkenalan kami. Hanya satu, yakinilah! Tak ada yang tak mungkin jika Allah berkehendak. Melihat perjuangannya untuk berjumpa denganku  membuatku yakin bahwa apa yang kami rasakan adalah sama.

Haii Pria yang kupanggil Coklat!!! Yang membuatku merasa imut saat berfoto bersama. Dengankan Keju baik-baik ya, (hahaha)!!! 
Membahagiakan saat Allah mempertemukan aku dengan kamu, tentunya melalui perantara dia.
Sudah sepatutnya kita berucap syukur dan terima kasih, kan?
 ^_^

#tentang filosofi Coklat dan Keju akan kukupas dilain kesempatan. hehehe

Jumat, 12 Agustus 2016

Tunggu Dengan Doa Ya, Ma?

Tanah Bertuah, 12 Agustus 2016

Hari ini lelahku begitu membahagiakan. Walau sempat berputar-putar karena mengandalkan GPS yang tak sinkron dengan alamat yang tertera. Namun, sedari pagi suasana hatiku begitu mendamaikan. Sehingga semua urusan akhirnya terselesaikan tanpa sandungan yang berarti. Tentunya ada doa orang tua berkatnya.

Lalu sorenya, sebuah warta menyatukan pikiranku yang bercabang. Yang nyaris menghentikan langkahku berjalan. Namun segala yang dilewati adalah putusan Tuhan. Suratan Allah bukan nikmat yang pantas didustakan.

Hari ini, 46 tahun silam seorang wanita yang  merelakan rahimnya untukku bersarang, dilahirkan. 552 bulan lampau, ia yang mengenalkan padaku akan dunia, untuk pertama kalinya menyapa dunia. 16.790 hari dulu, beliau yang menunggu kehadiranku, dihadirkan ke bumi ini.
Ia berkah atas kehidupanku.

Aku tak menyukai ucapan "selamat" untuk berkurangnya jatah kebersamaan. Aku tak ingin merayakan momentum berkurang usiamu, Ma. Namun, aku sangat bersyukur hingga detik ini keluarga kita selalu dalam kehangatan.

Ma, Masih ingat janjiku kan? Menjadi Putri Mama yang membanggakan.
Tunggu aku dengan doa ya, Ma? Semoga masa itu tidak berjarak dari sekarang.

Pintaku tak muluk Tuhan, tapi melebihi harta apapun di semesta ini. Sehatkanlah kedua orangtuaku. Biarkan ia merasakan jerihnya atasku.

Semoga mereka senantiasa dalam lindungan-Mu. Walau kami (anaknya) tengah berpeluh-peluh mengusahakan selintas senyuman di wajah mereka sembari menahan rindu. Namun usaha kami masih belum layak dijadikan alasan atas kesepian yang merundung mereka sepanjang hari.

Tunggu aku dengan doa ya, Ma. Akan kujemput engkau dan lelakimu sebentar lagi.
^_^

Senin, 08 Agustus 2016

Si Coklat

Kata seorang teman, ia adalah partner yang asyik untuk diajak bicara.
Kata seorang teman, ia mempunyai suara yang aduhai.
Kata seorang teman, ia memiliki paras yang maskulin.
Kata seorang teman, ia berkarisma.
Kata seorang teman, ia eksotis.

Kataku, ia adalah perwujudan dari imajinasiku yang sangat liar. :D

Bagiku, coklat adalah kesukaan.
Tapi Si Coklat adalah kesayangan.
^_^

MENYUARA

Tanah Melayu
Minggu, 7 Agustus 2016

Apakah kali ini takdir kembali berputar haluan? Jalan hidup memang tak bisa disurati sendiri. Dari hulu ke hilir, namun kadang malah kembali ke hulu atau bahkan tersendat di bebatuan. Belum berjodoh dengan kesukaan membuatku tanpa arah. Tak tahu mana lagi hilirku kali ini. Kadang terpikir, biarkan saja ia mengalir. Namun jika abai, ia akan mati sebelum menemukan muaranya. Padahal aku telah punya sejuta angan bersamanya.

Bisa disebut, ia kini tengah sekarat. Terseok-seok mengumpulkan secuil-cuil kekuatan. Baik dari memori lama, pun dari ingatan mereka yang berserakan. Aku pungut tanpa sepengetahuan.

Memasuki universitas kehidupan membuatku berjarak dengannya. Ia tengah tertimbun kesibukan. Terabaikan kepenatan. Lalu terkubur keegoisan. Dan aku? Telah kehilangan rival bersama semangat yang menyertainya. Tak memiliki lawan mengakibatkanku mengalami degradasi asa.

Jika perihal hidup, saat ini aku telah hidup dengan baik. Namun, tanpanya aku belumlah utuh. Merasa belum menjumpai duniaku.

Berbagai jalan sebenarnya pernah kutempuh agar seiring dengannya. Tapi suratan Tuhan belum mencampuradukkan kami. Melepaskannya sesaat seperti ini, mengakibatkanku terkungkung impian. Mimpi yang harus kusegerakan nyata.

Hingga tadi pagi saat tengah membongkar-bongkar file usang di laptop, mataku menangkap sebuah file yang sempat menjadi fokusku tahun ini. Iseng, kubukai file itu. File dari seorang senior yang berisi perjuangannya memenuhi bejibun persyaratan menyemogakan impian. Akhirnya September mendatang ia akan berangkat ke Belanda meraih masternya. Aah, ia sungguh memukau. Kubacai esai-esai yang ditulisnya sebagai persyaratan mendapatkan beasiswa penuh itu. Lagi, aku terkagum-kagum akannya. Sedari kecil ia memang sudah haus akan dunia pendidikan.

Berkatnya, kutangkap kembali jiwaku yang tengah berkelana. Walau belum menemukan jalannya, aku masih bisa tetap menjadi pecinta sastra, penggiat sastra, penyuluh sastra, menumbuhkan rasa cinta akan sastra, dan melahirkan bibit-bibit Sastrawan. Mungkin bukan saat ini, tapi suatu saat nanti. Siapa yang melarang? Tak ada. Hanya perasaan tak layak yang memenjarakan diri.

Dengan seni aku berkarya,
dengan bahasa aku bicara,
dan dengan sastra aku berkarya dan bersuara.

Tahun ini telah ku-blacklist daftar pertama pada lembar perencanaan. Nomor dua untuk mengabdi pada bidangku pun telah kucoret. Tapi tetap saja aku tak akan ikhlas untuk melepaskan itu. Ini hanya masalah waktu. Bukankah aku merasakan dengan sangat betapa Allah selalu menyayangiku dengan berbagai jalan-Nya.

Aku yakini perasaan ini akan kusyukuri suatu saat. ^_^


Sabtu, 30 Juli 2016

MERAJUT

Tentang W dan W yang melekat kuat.
Tulisan tanganmu. Lagi, cara sederhana yang membuatku bahagia. 


Mengingatmu membuat aku amnesia sejenak akan ilmu-ilmu kebahasaan dan kesusasteraan yang melekat di namaku. Kehabisan morfem, gagal merangkai fonem, dan berujung menjadi seorang akrasawan yang buta kata. Tetapi, tetap saja aku ingin mengabadikanmu melalui tulisan agar kau senantiasa dalam keabadian. Karena, "menulis adalah bekerja untuk keabadian," (Pramoedya Ananta Toer).  

Terbiasa denganmu membuat aku belajar berdamai dengan hari-hari yang telah terlewati. Membimbingku untuk memaafkan masa dulu. Menerima kisahku tentang yang lalu. Lantas melepaskanku dari kungkungan yang mempasung hati. Berlahan memperlakukan ia yang tengah terkoyak itu dengan sangat manis hingga terjerait. Menyulapkan bekas ternganga itu hingga menyatu utuh kembali. 
Mari kita rajut benang-benang ini agar menjadi jalinan kuat yang tak dapat diputuskan semesta. Aamiin. :D

Denganmu aku tetaplah aku. Tak perlu menjadi orang asing. Tak mesti tiba-tiba  berkepribadian lain. Sejatinya seorang aku memang tak suka pemanis untuk sesuatu yang telah dikodratkan pahit. Kau pahamkan? Baik kamu maupun aku tetaplah manusia dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya.
Semoga kita akan selalu saling menyukai bahkan untuk hal paling buruk yang melekat pada diri.

Bersamamu membuatku memahami betul arti kebahagiaan. Perihal yang sangat sederhana ternyata. Meski tak pernah dijanjikan akan bahagia nantinya. Namun bagiku, bahagia adalah saat kau dan aku tertawa bersama. Tak muluk bukan? Karena bahagia itu sangat sederhana.
Hayuuk selalu berbagi tawa hingga tak sadar bahwa kulit kita telah menua. :D

Bagimu aku adalah jelmaan dari segala kesukaanmu. Seperti kamu yang merupakan perwujudan dari imajinasiku yang  sangat liar. :D

Lebih dari semua itu. Nyaman adalah alas kita sampai detik ini. Selayaknya doa pada umumnya, aku ingin kedamaian ini senantiasa menyertai langkah kita ke depannya. Wahai Zat Yang Maha Agung atas niat baik yang terselubung di hati, ridhoilah! Aamiin ^_^

Kamis, 30 Juni 2016

Maaf


Setelah merenungi semalam, akhirnya kuputuskan mengirimi pesan singkat kepada ibunya. Sekaligus permohonan maaf atas sikap lancangku yang dengan sepihak mematikan saluran telepon.

Dengan singkat aku jelaskan bahwa aku sudah  tidak berhubungan lagi dengan anaknya. Pun permohonan maaf karena mengecewakan permintaannya yang ingin bertemu denganku.

Maaf Bu,  aku butuh waktu untuk merenungi ini semuanya. Aku yakin anakmu belum berkisah dengan gamblang apa yang telah diperbuatannya.

Untukmu,  percayakan saja pada Tuhan. Jika memang suratan Allah kita bersama kelak,  kita akan kembali dipersatukan di tempat dan waktu yang indah.  Namun jika tidak,  tentunya Allah telah mempersiapkan seseorang yang lebih dariku untukmu.

Ia Ibumu

Setelah berkali-kali panggilan tak terjawab dari nomor Malaysia, aku akhirnya mengangkat telepon masuk itu. Aku putuskan menyelesaikan dengan tuntas.

Selang beberapa detik,  terdengar suara lembut seorang wanita yang menyambut di seberang sana. Bermula basa-basi,  berlanjut nasehat seorang ibu yang tak ingin anak lelaki satu-satunya tersesat.  Entahlah, perasaanku tipis sekali. Sebelumnya, aku juga sudah mengatakan itu pada anaknya.  "Bahagiakan orangtuamu dulu, baru janjikan ini dan itu pada perempuan."
Tapi omonganku bagai angin lalu saja baginya,  hingga orang tuanya yang mengatakan itu padaku.

Sebenarnya aku ingin  mengatakan pada ibunya,  "Jangan khawatir Bu,  saya sudah mengakhiri hubungan dengan anak Ibu".  Tapi lidah ini kelu untuk berujar seperti itu,  aku hanya mengiya-iyakan dengan tertawa kecil. Tak tahu mesti menjawab apa.  Ingin sekali rasanya berkisah pada ibunya,  bagaimana ulah anaknya padaku.  Tapi aku masih punya hati untuk tak menyerang seorang ibu yang tak tahu apa-apa.

Karena dipanggil suami kakakku,  akhirnya aku matikan saja telepon itu tanpa salam berpisahan. Mungkin ibunya telah berpikiran buruk tentangku yang tak  sopan. Biarlah,  aku sudah susah payah berpura-pura baik-baik saja menjawab telepon itu.

Jika ia memang serius,  seharusnya ia telah mengisahkan semua pada ibunya.  Jika mulutnya berat meminta maaf (tulus), mungkin ibunya bisa menjadi penyambung lidahnya.

Hanya jika,  karena dia tak lah segantle itu.

Rabu, 29 Juni 2016

Panggilan Masuk

Baru teringat saat tadi ada panggilan tak terjawab dari nomor asing di luar kode Indonesia. Dulu tahun 2015 ada sebuah rekaman suara melalui BBM dari seorang wanita di Kelantan, negeri Jiran, Malaysia. Seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari pria yang berhubungan denganku kala itu. Hampir saja lupa tentang itu.

Lalu tadi masuk pesan melalui BBM ku,  setelah panggilan tak terjawab yang memang tak kuniati mengangkatnya. "Ibuku ingin bicara denganmu".
Aku mendiamkan saja,  sudah beberapa hari ini aku mengabaikannya. Aku teramat lelah harus selalu berdebat tak berkesudahan dengannya.

Kemarin mamaku pun mengirimiku sebuah SMS. Mengatakan bahwasannya pria itu meminta doa restu kepada orangtuaku.

Jangan libatkan dulu orangtua, biarkan aku merenungi semuanya.

Sabtu, 18 Juni 2016

Kekuatan Doa

Disujud akhir kulantunkan sendu
Kukadu lara pada-Mu
Kurebah diri beralas sajadah
Di bawah langit-langit kubah

Asa, duka, dan takdir
Kubungkus dalam balutan doa
Terselip di antara dua sujud
Kulebur bersama ayat

Adalah kepastian
Jawaban dari keraguan
Muara dari kegaduhan
Kekuatan dari doa

Abai, ada Engkau muara dari segala penjuru

Senin, 06 Juni 2016

Sebuah Pengakuan

Jambak, 3-5 Juni 2016
Terima kasih atas dua malamnya, Sayang.
            Sudah lama tak berjumpa sejak kita menyandang gelar tersebut. Dari jauh kau mengendarai motor seorang diri demi menjumpaiku. Kau berkunjung ke desaku. Bermalam di rumah. Menemaniku dan melepas rindu. Kebetulan mamaku tengah di Pulau Jawa (Semarang) untuk suatu urusan keluarga. Sudah lama sejak terakhir kali kau kesini. Kalau ingatanku tak salah, kala itu kita masih duduk di Semester 3.
            Terima kasih telah bersamaku dalam kesahajaan. Berbagi cerita dengan papaku dan memahami nenekku. Menemaniku jalan-jalan, menampung ocehanku, belanja, memasak, hingga tidur bersama seperti dulu. Melihatmu tidur begitu pulas membuatku bahagia. Membahagiakan memiliki sahabat yang membuatku selalu nyaman.
            Terima kasih juga untuk hadiah couple-annya. Baju, gelang, dan anting kembaran. Aku tak ulangtahun, tak ada peringatan apa-apa, tapi kau memberiku kado. Aku sangat menyukai. Kita berjanji akan memakainya bersama saat di Malaysia nanti setelah lebaran. Kita akan menjadi si kembar yang berbeda. Bak pinnag dibalah duo, tapi gadang sabalah. hahah. Semoga. 
            Beberapa waktu lalu, hampir saja aku mempertaruhkan persahabatan kita. Nyaris tersulut oleh sebuah foto yang dikirimi seseorang. Disana ada kau dengan seorang pria. Lantaran trauma masa lalu, aku malas jika berurusan dengan perempuan gara-gara seorang pria. Terutama denganmu. Tak ingin kisah dulu terulang lagi di balik diamku. Saat itu juga, aku langsung mengubungimu. Aku lebih rela kehilangan orang yang berfoto bersamamu. Wujudku terlihat buruk padamu, tapi hatiku teramat menyayangimu bahkan lebih besar dari pada sayangku pada dia di foto itu. Aku lebih takut dengan kenyataan kau mengkhianatiku dari pada aku dikhianati olehnya.
            Ternyata tak ada yang berkhianat. Aku yang memberi batas sehingga kebohongan terciptanya. Aku tak yakini pembelaannya, tapi aku mempercayaimu dan tak ingin hal dulu terulang. Kita bersahabat bukan karena merasa senasib. Tapi karena kita sangat berbeda dan saling melengkapi.
***
            Ini cerita masa lampau yang berusaha kujaga darimu. Takut hubungan kita akan berantakan. Tapi kurasa, sudah semestinya kau tahu.
            Tahun pertama di perguruan tinggi aku dekat dengan seorang pria. Konon katanya, dia menyukai diriku. Dia baik sekali padaku dan aku terjebak perasaan serupa. Walau sebenarnya aku tahu ia telah memiliki kekasih. Menyukai bukan berarti pacaran dan merajut kasih. Kami berteman baik. Sangat positif dan saling menyemangati. Pada malam hari, kami duduk di depan kosku. Membahas berbagai hal, mulai tema sastra yang sama-sama kami gandrungi hingga seni, fotografi, dan berpetualang. Ia adalah lelaki yang memiliki jiwa estetis dan penuh warna. Multitalenta. Sayang, ia tak menyadari banyak sarana untuk mengeksplornya. Butuh waktu hingga aku menyadari bahwa bukan aku saja yang terpukau.
            Suatu malam, ia mengirimiku pesan yang tak diduga. Perkataannya membingungkan sekaligus melukai hatiku. Saat menyadari paginya, aku langsung membalas pesan tersebut. Namun ia tak membalasnya lagi. Pagi itu kita ada kelas, ketika berpapasan di kampus, aku bertanya maksud dari ucapnya semalam. Namun ia hanya menggeleng dan berkata tak ada.
            Sebelum berjumpa dia, aku telah bercerita padamu, tentang pesannya yang membuatku kecemasan. Hal apa yang telah kuperbuat hingga ia berubah sedrastis itu. Kau menenangkan diriku, berkata jika ia macam-macam kau yang angkat bicara. Namun aku merasa ini masih penuh teka-teki. Pikiranku tak bisa beranjak. Sayang aku tak bisa melakukan apa-apa saat itu. Tak menemukan alasan di balik sikapnya.
            Waktu begitu deras berlalu. Aku telah terbiasa dengan jarak yang tercipta antara aku dan dia. Namun kau dengannya semakin dekat. Aku berusaha tak mencemburui kalian, aku tak berharap untuk sedekat dulu lagi dengannya. Aku kecewa, kenapa ia menelan mentah-mentah saja praduganya tanpa konfirmasi padaku. Hingga suatu ketika dari seorang kawan aku mengetahui sesuatu yang tak ingin kupercayai. Hatiku membantah itu. Ingin aku menanyaimu. Menginterogasimu dan meminta bukti. Tapi kusumbat mulutku. Kutahan bongkahan tanda tanya di hati bahkan hingga kini. Menceritakan semua, berarti melibatkan orang lain lagi. Seorang kawan yang bercerita padaku dan tentunya lelaki itu juga. Aku tak mau membawa-bawa orang yang sudah lama tenang hanya demi keegoan diri. Buktinya hanya aku yang masih terpaku pada kisah bertahun silam. Semua telah menganggap usai.
            Lama bagiku untuk memulihkan ketidakberterimaan hati. Hampir berujung dengan aku yang membencimu. Tapi aku tak bisa benar-benar membencimu. (Dulu) dalam tampang ketidak ada apa-apaan, aku berharap suatu saat mendengarkan apa alasanmu.
            Kemudian, aku belajar untuk memakhlumi. Menekankan bahwa pasti ada kesalahpahaman dari penerimaan yang masuk ke dalam pikiran kita. Yah, aku hanya salah paham, aku yakin kau tak mungkin begitu. Aku lebih lega dengan pikiran begini. Biarkanlah begitu. Manusia pernah kilaf dan silap, apalagi jika tak saling mengenal dengan baik. Aku rasa kita kini telah saling mendalami.
            Selepas itu, aku tak pernah menemukan keminusanmu dalam persahabatan kita. Walau aku sempat menjadi kawan yang buruk bagimu. Aku diam-diam menyimpan ketakutan. Maafkan aku. Aku hampir saja menumbuhkan benci dengan subur padamu. Namun kelembutanmu memangkas habis sebelum ia bertunas.
            Persahabatan kita seumur berjuangan kita di Universitas Negeri Padang hingga meninggalkan kampus kuning itu. Semoga akan terus berjalan hari ini, esok, dan seterusnya. Mari mengabadikan hingga setahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai kita beranak binak, menua, hingga dilepaskan dunia, dan berjumpa di akhirat. Aamiin.