Jambak, 3-5 Juni 2016
Terima
kasih atas dua malamnya, Sayang.
Sudah lama tak berjumpa sejak kita menyandang gelar
tersebut. Dari jauh kau mengendarai motor seorang diri demi menjumpaiku. Kau berkunjung
ke desaku. Bermalam di rumah. Menemaniku dan melepas rindu. Kebetulan mamaku
tengah di Pulau Jawa (Semarang) untuk suatu urusan keluarga. Sudah lama sejak
terakhir kali kau kesini. Kalau ingatanku tak salah, kala itu kita masih duduk
di Semester 3.
Terima kasih telah bersamaku dalam kesahajaan. Berbagi
cerita dengan papaku dan memahami nenekku. Menemaniku jalan-jalan, menampung
ocehanku, belanja, memasak, hingga tidur bersama seperti dulu. Melihatmu tidur
begitu pulas membuatku bahagia. Membahagiakan memiliki sahabat yang membuatku selalu
nyaman.
Terima kasih juga untuk hadiah couple-annya. Baju, gelang, dan anting kembaran. Aku tak
ulangtahun, tak ada peringatan apa-apa, tapi kau memberiku kado. Aku sangat
menyukai. Kita berjanji akan memakainya bersama saat di Malaysia nanti setelah
lebaran. Kita akan menjadi si kembar yang berbeda. Bak pinnag dibalah duo, tapi gadang sabalah. hahah. Semoga.
Beberapa waktu lalu, hampir saja aku mempertaruhkan
persahabatan kita. Nyaris tersulut oleh sebuah foto yang dikirimi seseorang.
Disana ada kau dengan seorang pria. Lantaran trauma masa lalu, aku malas jika
berurusan dengan perempuan gara-gara seorang pria. Terutama denganmu. Tak ingin
kisah dulu terulang lagi di balik diamku. Saat itu juga, aku langsung mengubungimu.
Aku lebih rela kehilangan orang yang berfoto bersamamu. Wujudku terlihat buruk
padamu, tapi hatiku teramat menyayangimu bahkan lebih besar dari pada sayangku
pada dia di foto itu. Aku lebih takut dengan kenyataan kau mengkhianatiku dari
pada aku dikhianati olehnya.
Ternyata tak ada yang berkhianat. Aku yang memberi batas
sehingga kebohongan terciptanya. Aku tak yakini pembelaannya, tapi aku
mempercayaimu dan tak ingin hal dulu terulang. Kita bersahabat bukan karena
merasa senasib. Tapi karena kita sangat berbeda dan saling melengkapi.
***
Ini cerita masa lampau yang berusaha kujaga darimu. Takut
hubungan kita akan berantakan. Tapi kurasa, sudah semestinya kau tahu.
Tahun pertama di perguruan tinggi aku dekat dengan
seorang pria. Konon katanya, dia menyukai diriku. Dia baik sekali padaku dan
aku terjebak perasaan serupa. Walau sebenarnya aku tahu ia telah memiliki
kekasih. Menyukai bukan berarti pacaran dan merajut kasih. Kami berteman baik.
Sangat positif dan saling menyemangati. Pada malam hari, kami duduk di depan
kosku. Membahas berbagai hal, mulai tema sastra yang sama-sama kami gandrungi
hingga seni, fotografi, dan berpetualang. Ia adalah lelaki yang memiliki jiwa
estetis dan penuh warna. Multitalenta. Sayang, ia tak menyadari banyak sarana
untuk mengeksplornya. Butuh waktu hingga aku menyadari bahwa bukan aku saja yang
terpukau.
Suatu malam, ia mengirimiku pesan yang tak diduga.
Perkataannya membingungkan sekaligus melukai hatiku. Saat menyadari paginya,
aku langsung membalas pesan tersebut. Namun ia tak membalasnya lagi. Pagi itu kita
ada kelas, ketika berpapasan di kampus, aku bertanya maksud dari ucapnya semalam.
Namun ia hanya menggeleng dan berkata tak ada.
Sebelum berjumpa dia, aku telah bercerita padamu, tentang
pesannya yang membuatku kecemasan. Hal apa yang telah kuperbuat hingga ia
berubah sedrastis itu. Kau menenangkan diriku, berkata jika ia macam-macam kau
yang angkat bicara. Namun aku merasa ini masih penuh teka-teki. Pikiranku tak
bisa beranjak. Sayang aku tak bisa melakukan apa-apa saat itu. Tak menemukan
alasan di balik sikapnya.
Waktu begitu deras berlalu. Aku telah terbiasa dengan jarak
yang tercipta antara aku dan dia. Namun kau dengannya semakin dekat. Aku berusaha
tak mencemburui kalian, aku tak berharap untuk sedekat dulu lagi dengannya. Aku
kecewa, kenapa ia menelan mentah-mentah saja praduganya tanpa konfirmasi
padaku. Hingga suatu ketika dari seorang kawan aku mengetahui sesuatu yang tak
ingin kupercayai. Hatiku membantah itu. Ingin aku menanyaimu. Menginterogasimu
dan meminta bukti. Tapi kusumbat mulutku. Kutahan bongkahan tanda tanya di hati
bahkan hingga kini. Menceritakan semua, berarti melibatkan orang lain lagi.
Seorang kawan yang bercerita padaku dan tentunya lelaki itu juga. Aku tak mau
membawa-bawa orang yang sudah lama tenang hanya demi keegoan diri. Buktinya
hanya aku yang masih terpaku pada kisah bertahun silam. Semua telah menganggap
usai.
Lama bagiku untuk memulihkan ketidakberterimaan hati. Hampir
berujung dengan aku yang membencimu. Tapi aku tak bisa benar-benar membencimu. (Dulu)
dalam tampang ketidak ada apa-apaan, aku berharap suatu saat mendengarkan apa
alasanmu.
Kemudian, aku belajar untuk memakhlumi. Menekankan bahwa
pasti ada kesalahpahaman dari penerimaan yang masuk ke dalam pikiran kita. Yah,
aku hanya salah paham, aku yakin kau tak mungkin begitu. Aku lebih lega dengan
pikiran begini. Biarkanlah begitu. Manusia pernah kilaf dan silap, apalagi jika
tak saling mengenal dengan baik. Aku rasa kita kini telah saling mendalami.
Selepas itu, aku tak pernah menemukan keminusanmu dalam
persahabatan kita. Walau aku sempat menjadi kawan yang buruk bagimu. Aku
diam-diam menyimpan ketakutan. Maafkan aku. Aku hampir saja menumbuhkan benci
dengan subur padamu. Namun kelembutanmu memangkas habis sebelum ia bertunas.
Persahabatan kita seumur berjuangan kita di Universitas
Negeri Padang hingga meninggalkan kampus kuning itu. Semoga akan terus berjalan
hari ini, esok, dan seterusnya. Mari mengabadikan hingga setahun, lima tahun,
sepuluh tahun, bahkan sampai kita beranak binak, menua, hingga dilepaskan
dunia, dan berjumpa di akhirat. Aamiin.