Rabu, 26 Oktober 2016

SENJA

Aku selalu jatuh hati pada jingga di ufuk barat. Langit dengan bias-bias kemerahan. Ada mega keemasan yang berarak. Biasanya para manusia di belahan bumi ini menyebutnya senja. Katanya, ketika senja matahari akan malu-malu dan bersembunyi. Tenggelam bersama siang. Menyisakan warna merah keorenan di langit.

Kau tahu? Aku adalah pengagum senja. Bersama senja adalah waktu yang kunantikan. Pada senja, aku belajar suatu hal. Tentang kehangatan. Memandangi senja serasa dipayungi kasih dan sayang.

Untukmu, aku ingin menjadi senja. Yang tak pernah ingkar. Penawar dahaga yang menderamu seharian. Memelukmu dengan kasih. Ya, layaknya senja. Penuh kehangatan.

***
Beberapa waktu lalu ketika diperjalanan pulang kantor bersama senja, aku menyempatkan diri untuk menatap jingga di ufuk barat itu. Aku telah berjumpa senja seumur hidupku, tetapi ia selalu berhasil membuatku terpukau. Jangan heran aku bisa berhenti hanya untuk sekadar memuja waktu yang membatasi siang dan malam itu.

Kali itu, ada asa yang kulampungkan kesana. Perihal makhluk ciptaan Tuhan yang membuatku berucap syukur mengenalnya. Kusebut kau dalam syukur. Berkatmu dendam yang membatu telah terkikis. Bersamamu aku lupa cara membenci. Dan mengingatmu adalah kesenanganku.

Bukankah itu wujud dari bahagia? Tentu. Biar dunia tahu bahwa aku tak akan ingkar mengakui kebahagiaan ini. Ada kehangatan yang menyelimuti hubungan ini, selayaknya senja.

Senin, 24 Oktober 2016

MENDIAM

Selain di atas sajadah, aku memilih mendiam.

Tentang para hal berat yang susah untuk disuarakan.

Ada resah yang berbongkah.
Ada sendu yang membatu.
Ada pasrah yang tak berarah.

Mendiam adalah cara untuk menjinakkan lidah yang tak bertuan.
Mendiam adalah siasat agar tak memicu amarah.

Mendiam bukan perihal melunggukkan dendam.
Mendiam adalah upaya berdamai dengan takdir.
Tak mesti berurai untuk dipahami.
Tak perlu mengemis untuk dimengerti.

Hingga mendiam menjelma menjadi sesosok dewasa nan anggun.

Rabu, 12 Oktober 2016

Nama, Bekal Makan Siang, dan Cinta ‌


Bekal Cinta

Di masa lalu ada dua nama yang menyita kehidupan. Nama yang ingin kutinggalkan saja di masa itu. Nama yang mengajarkan akan arti pengkhianatan. Nama yang merenggut kesetiaan. Dan nama yang tak kulafaskan lagi di mulut.

Namun jauh sebelumnya, salah satu nama tersebut telah lebih dulu kusandang diakhir namaku. Hingga aku yang biasa bangga dengan nama kepanjanganku, menyingkat-nyingkatnya agar nama tersebut tak menyeret kenangan itu ke masa kini.

Aku bertakdir dengan nama itu.
Walau berbagai cara menghindari nama tersebut, namun aku telah bersurat dengan itu. Di kehidupan sekarang, aku kembali bergumal dengan nama itu. Seorang rekan kerja, yang kupanggil Kakak bernama itu. Awal perkenalan kami saat akan mengikuti tes psikotes. Lidahku kelu saat ia menyebut namanya, tetiba kisah masa lalu terputar kembali. Bagiku yang masih baru akan kota ini dan baru mencicipi tes masuk kerja tertolong dengan sikap kekakak-annya (karena memang ia lebih tua dariku). Ia mengayomiku dan dengan tawakal menjadi penunjuk jalan berkali-kali untuk arah yang sama demi seseorang yang navigasinya kacau sepertiku.

Lalu, kami selalu bersama karena berada di ruang kerja yang sama walau berbeda divisi. Disela waktu, kami bertukar kisah dan makan siang bersama. Hingga pada suatu hari, lidah ini telah kebal mengunyah masakan luar, ia pun dibekali kotak makan siang oleh mamanya. Andai mamaku juga berada di sini, maka makan siang kami tentu akan saling bertukar. Ia mencicipi bekalku, begitupun aku. Namun, gadis rantau sepertiku tak akan sempat membekali dirinya.

Pada bekal makan siangnya, aku belajar perihal cinta yang tak pandang perkenalan. Kami hanya saling mengenal melalui cerita Kakak. Aku yang tak pernah bertatap muka dengan beliau dan belum pernah mencium tangan ibunya juga dibekali makan siang.
Ia berujar, "Anggap saja Mama Kakak adalah mama kamu di kota ini, asal jangan dipeluk-peluk". Ah gimana mau meluk, ketemu aja belum pernah. Haaha. Walau aku memang rindu pelukan karena didera banyak pikiran dan kerjaan.

Terkadang ia malah bertanya, aku lagi pengen makan apa? Atau kamu suka ini atau itu tidak? Ah, ia pasti tahu aku penikmat segalanya, kecuali jengkol dan petai. :D

Namun ketika aku berucap tentang makanan yang kurindui, esok atau lusanya makanan itu akan nongol di bekal kami.

Andai mamaku tahu anaknya seperti benalu saja, mungkin ia akan bersedih. Orangtuaku tak pernah keberatan aku menghabiskan berapa pun uang untuk lambungku. Ia selalu berpesan, kalau ingin sesuatu, belilah! Jangan ditahan.

Ini perihal lidah yang merindukan masakan penuh cinta. Dan dari bekal itu, aku juga dibekali kasih. Tentang makanan yang lebih sehat jika masuk ke dalam tubuh ini. Begitu kata Kakak.

Untuk Kakak, sedari kecil aku selalu berangan-angan memiliki kakak perempuan yang bisa kuajak bermain dan menampung ocehanku. Terima kasih telah membawakanku bekal makan siang.
Untuk Mama, terima kasih telah menyiapkan bekal makan siang pada anak yang belum pernah kau jumpai.

Aku merasa beruntung memiliki kakak dan mama di perantauan ini. Aku dikeliling kebaikan dan bersyukur atas kehidupan sekarang. Lalu ia menjawab, "Tentu di masa lalu kamu juga berbuat baik kepada yang lain". Aku tak peduli tentang itu Kak, yang ingin kuingat adalah kebaikan-kebaikan semua hingga aku tak pantas lelah berucap syukur.

#bersambung