Kamis, 30 Juni 2016
Maaf
Setelah merenungi semalam, akhirnya kuputuskan mengirimi pesan singkat kepada ibunya. Sekaligus permohonan maaf atas sikap lancangku yang dengan sepihak mematikan saluran telepon.
Dengan singkat aku jelaskan bahwa aku sudah tidak berhubungan lagi dengan anaknya. Pun permohonan maaf karena mengecewakan permintaannya yang ingin bertemu denganku.
Maaf Bu, aku butuh waktu untuk merenungi ini semuanya. Aku yakin anakmu belum berkisah dengan gamblang apa yang telah diperbuatannya.
Untukmu, percayakan saja pada Tuhan. Jika memang suratan Allah kita bersama kelak, kita akan kembali dipersatukan di tempat dan waktu yang indah. Namun jika tidak, tentunya Allah telah mempersiapkan seseorang yang lebih dariku untukmu.
Ia Ibumu
Setelah berkali-kali panggilan tak terjawab dari nomor Malaysia, aku akhirnya mengangkat telepon masuk itu. Aku putuskan menyelesaikan dengan tuntas.
Selang beberapa detik, terdengar suara lembut seorang wanita yang menyambut di seberang sana. Bermula basa-basi, berlanjut nasehat seorang ibu yang tak ingin anak lelaki satu-satunya tersesat. Entahlah, perasaanku tipis sekali. Sebelumnya, aku juga sudah mengatakan itu pada anaknya. "Bahagiakan orangtuamu dulu, baru janjikan ini dan itu pada perempuan."
Tapi omonganku bagai angin lalu saja baginya, hingga orang tuanya yang mengatakan itu padaku.
Sebenarnya aku ingin mengatakan pada ibunya, "Jangan khawatir Bu, saya sudah mengakhiri hubungan dengan anak Ibu". Tapi lidah ini kelu untuk berujar seperti itu, aku hanya mengiya-iyakan dengan tertawa kecil. Tak tahu mesti menjawab apa. Ingin sekali rasanya berkisah pada ibunya, bagaimana ulah anaknya padaku. Tapi aku masih punya hati untuk tak menyerang seorang ibu yang tak tahu apa-apa.
Karena dipanggil suami kakakku, akhirnya aku matikan saja telepon itu tanpa salam berpisahan. Mungkin ibunya telah berpikiran buruk tentangku yang tak sopan. Biarlah, aku sudah susah payah berpura-pura baik-baik saja menjawab telepon itu.
Jika ia memang serius, seharusnya ia telah mengisahkan semua pada ibunya. Jika mulutnya berat meminta maaf (tulus), mungkin ibunya bisa menjadi penyambung lidahnya.
Hanya jika, karena dia tak lah segantle itu.
Selang beberapa detik, terdengar suara lembut seorang wanita yang menyambut di seberang sana. Bermula basa-basi, berlanjut nasehat seorang ibu yang tak ingin anak lelaki satu-satunya tersesat. Entahlah, perasaanku tipis sekali. Sebelumnya, aku juga sudah mengatakan itu pada anaknya. "Bahagiakan orangtuamu dulu, baru janjikan ini dan itu pada perempuan."
Tapi omonganku bagai angin lalu saja baginya, hingga orang tuanya yang mengatakan itu padaku.
Sebenarnya aku ingin mengatakan pada ibunya, "Jangan khawatir Bu, saya sudah mengakhiri hubungan dengan anak Ibu". Tapi lidah ini kelu untuk berujar seperti itu, aku hanya mengiya-iyakan dengan tertawa kecil. Tak tahu mesti menjawab apa. Ingin sekali rasanya berkisah pada ibunya, bagaimana ulah anaknya padaku. Tapi aku masih punya hati untuk tak menyerang seorang ibu yang tak tahu apa-apa.
Karena dipanggil suami kakakku, akhirnya aku matikan saja telepon itu tanpa salam berpisahan. Mungkin ibunya telah berpikiran buruk tentangku yang tak sopan. Biarlah, aku sudah susah payah berpura-pura baik-baik saja menjawab telepon itu.
Jika ia memang serius, seharusnya ia telah mengisahkan semua pada ibunya. Jika mulutnya berat meminta maaf (tulus), mungkin ibunya bisa menjadi penyambung lidahnya.
Hanya jika, karena dia tak lah segantle itu.
Rabu, 29 Juni 2016
Panggilan Masuk
Baru teringat saat tadi ada panggilan tak terjawab dari nomor asing di luar kode Indonesia. Dulu tahun 2015 ada sebuah rekaman suara melalui BBM dari seorang wanita di Kelantan, negeri Jiran, Malaysia. Seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari pria yang berhubungan denganku kala itu. Hampir saja lupa tentang itu.
Lalu tadi masuk pesan melalui BBM ku, setelah panggilan tak terjawab yang memang tak kuniati mengangkatnya. "Ibuku ingin bicara denganmu".
Aku mendiamkan saja, sudah beberapa hari ini aku mengabaikannya. Aku teramat lelah harus selalu berdebat tak berkesudahan dengannya.
Kemarin mamaku pun mengirimiku sebuah SMS. Mengatakan bahwasannya pria itu meminta doa restu kepada orangtuaku.
Jangan libatkan dulu orangtua, biarkan aku merenungi semuanya.
Lalu tadi masuk pesan melalui BBM ku, setelah panggilan tak terjawab yang memang tak kuniati mengangkatnya. "Ibuku ingin bicara denganmu".
Aku mendiamkan saja, sudah beberapa hari ini aku mengabaikannya. Aku teramat lelah harus selalu berdebat tak berkesudahan dengannya.
Kemarin mamaku pun mengirimiku sebuah SMS. Mengatakan bahwasannya pria itu meminta doa restu kepada orangtuaku.
Jangan libatkan dulu orangtua, biarkan aku merenungi semuanya.
Sabtu, 18 Juni 2016
Kekuatan Doa
Disujud akhir kulantunkan sendu
Kukadu lara pada-Mu
Kurebah diri beralas sajadah
Di bawah langit-langit kubah
Asa, duka, dan takdir
Kubungkus dalam balutan doa
Terselip di antara dua sujud
Kulebur bersama ayat
Adalah kepastian
Jawaban dari keraguan
Muara dari kegaduhan
Kekuatan dari doa
Abai, ada Engkau muara dari segala penjuru
Kukadu lara pada-Mu
Kurebah diri beralas sajadah
Di bawah langit-langit kubah
Asa, duka, dan takdir
Kubungkus dalam balutan doa
Terselip di antara dua sujud
Kulebur bersama ayat
Adalah kepastian
Jawaban dari keraguan
Muara dari kegaduhan
Kekuatan dari doa
Abai, ada Engkau muara dari segala penjuru
Senin, 06 Juni 2016
Sebuah Pengakuan
Jambak, 3-5 Juni 2016
Terima
kasih atas dua malamnya, Sayang.
Sudah lama tak berjumpa sejak kita menyandang gelar
tersebut. Dari jauh kau mengendarai motor seorang diri demi menjumpaiku. Kau berkunjung
ke desaku. Bermalam di rumah. Menemaniku dan melepas rindu. Kebetulan mamaku
tengah di Pulau Jawa (Semarang) untuk suatu urusan keluarga. Sudah lama sejak
terakhir kali kau kesini. Kalau ingatanku tak salah, kala itu kita masih duduk
di Semester 3.
Terima kasih telah bersamaku dalam kesahajaan. Berbagi
cerita dengan papaku dan memahami nenekku. Menemaniku jalan-jalan, menampung
ocehanku, belanja, memasak, hingga tidur bersama seperti dulu. Melihatmu tidur
begitu pulas membuatku bahagia. Membahagiakan memiliki sahabat yang membuatku selalu
nyaman.
Terima kasih juga untuk hadiah couple-annya. Baju, gelang, dan anting kembaran. Aku tak
ulangtahun, tak ada peringatan apa-apa, tapi kau memberiku kado. Aku sangat
menyukai. Kita berjanji akan memakainya bersama saat di Malaysia nanti setelah
lebaran. Kita akan menjadi si kembar yang berbeda. Bak pinnag dibalah duo, tapi gadang sabalah. hahah. Semoga.
Beberapa waktu lalu, hampir saja aku mempertaruhkan
persahabatan kita. Nyaris tersulut oleh sebuah foto yang dikirimi seseorang.
Disana ada kau dengan seorang pria. Lantaran trauma masa lalu, aku malas jika
berurusan dengan perempuan gara-gara seorang pria. Terutama denganmu. Tak ingin
kisah dulu terulang lagi di balik diamku. Saat itu juga, aku langsung mengubungimu.
Aku lebih rela kehilangan orang yang berfoto bersamamu. Wujudku terlihat buruk
padamu, tapi hatiku teramat menyayangimu bahkan lebih besar dari pada sayangku
pada dia di foto itu. Aku lebih takut dengan kenyataan kau mengkhianatiku dari
pada aku dikhianati olehnya.
Ternyata tak ada yang berkhianat. Aku yang memberi batas
sehingga kebohongan terciptanya. Aku tak yakini pembelaannya, tapi aku
mempercayaimu dan tak ingin hal dulu terulang. Kita bersahabat bukan karena
merasa senasib. Tapi karena kita sangat berbeda dan saling melengkapi.
***
Ini cerita masa lampau yang berusaha kujaga darimu. Takut
hubungan kita akan berantakan. Tapi kurasa, sudah semestinya kau tahu.
Tahun pertama di perguruan tinggi aku dekat dengan
seorang pria. Konon katanya, dia menyukai diriku. Dia baik sekali padaku dan
aku terjebak perasaan serupa. Walau sebenarnya aku tahu ia telah memiliki
kekasih. Menyukai bukan berarti pacaran dan merajut kasih. Kami berteman baik.
Sangat positif dan saling menyemangati. Pada malam hari, kami duduk di depan
kosku. Membahas berbagai hal, mulai tema sastra yang sama-sama kami gandrungi
hingga seni, fotografi, dan berpetualang. Ia adalah lelaki yang memiliki jiwa
estetis dan penuh warna. Multitalenta. Sayang, ia tak menyadari banyak sarana
untuk mengeksplornya. Butuh waktu hingga aku menyadari bahwa bukan aku saja yang
terpukau.
Suatu malam, ia mengirimiku pesan yang tak diduga.
Perkataannya membingungkan sekaligus melukai hatiku. Saat menyadari paginya,
aku langsung membalas pesan tersebut. Namun ia tak membalasnya lagi. Pagi itu kita
ada kelas, ketika berpapasan di kampus, aku bertanya maksud dari ucapnya semalam.
Namun ia hanya menggeleng dan berkata tak ada.
Sebelum berjumpa dia, aku telah bercerita padamu, tentang
pesannya yang membuatku kecemasan. Hal apa yang telah kuperbuat hingga ia
berubah sedrastis itu. Kau menenangkan diriku, berkata jika ia macam-macam kau
yang angkat bicara. Namun aku merasa ini masih penuh teka-teki. Pikiranku tak
bisa beranjak. Sayang aku tak bisa melakukan apa-apa saat itu. Tak menemukan
alasan di balik sikapnya.
Waktu begitu deras berlalu. Aku telah terbiasa dengan jarak
yang tercipta antara aku dan dia. Namun kau dengannya semakin dekat. Aku berusaha
tak mencemburui kalian, aku tak berharap untuk sedekat dulu lagi dengannya. Aku
kecewa, kenapa ia menelan mentah-mentah saja praduganya tanpa konfirmasi
padaku. Hingga suatu ketika dari seorang kawan aku mengetahui sesuatu yang tak
ingin kupercayai. Hatiku membantah itu. Ingin aku menanyaimu. Menginterogasimu
dan meminta bukti. Tapi kusumbat mulutku. Kutahan bongkahan tanda tanya di hati
bahkan hingga kini. Menceritakan semua, berarti melibatkan orang lain lagi.
Seorang kawan yang bercerita padaku dan tentunya lelaki itu juga. Aku tak mau
membawa-bawa orang yang sudah lama tenang hanya demi keegoan diri. Buktinya
hanya aku yang masih terpaku pada kisah bertahun silam. Semua telah menganggap
usai.
Lama bagiku untuk memulihkan ketidakberterimaan hati. Hampir
berujung dengan aku yang membencimu. Tapi aku tak bisa benar-benar membencimu. (Dulu)
dalam tampang ketidak ada apa-apaan, aku berharap suatu saat mendengarkan apa
alasanmu.
Kemudian, aku belajar untuk memakhlumi. Menekankan bahwa
pasti ada kesalahpahaman dari penerimaan yang masuk ke dalam pikiran kita. Yah,
aku hanya salah paham, aku yakin kau tak mungkin begitu. Aku lebih lega dengan
pikiran begini. Biarkanlah begitu. Manusia pernah kilaf dan silap, apalagi jika
tak saling mengenal dengan baik. Aku rasa kita kini telah saling mendalami.
Selepas itu, aku tak pernah menemukan keminusanmu dalam
persahabatan kita. Walau aku sempat menjadi kawan yang buruk bagimu. Aku
diam-diam menyimpan ketakutan. Maafkan aku. Aku hampir saja menumbuhkan benci
dengan subur padamu. Namun kelembutanmu memangkas habis sebelum ia bertunas.
Persahabatan kita seumur berjuangan kita di Universitas
Negeri Padang hingga meninggalkan kampus kuning itu. Semoga akan terus berjalan
hari ini, esok, dan seterusnya. Mari mengabadikan hingga setahun, lima tahun,
sepuluh tahun, bahkan sampai kita beranak binak, menua, hingga dilepaskan
dunia, dan berjumpa di akhirat. Aamiin.
Hadiah yang Terlambat
Suatu senja di Bukttinggi, 6 Juni
2016
Sebenarnya
aku marah dan berusaha mengurungkan untuk menulis ini. Pun tak ada ucapan dan
doa yang kukirimi padamu via telepon
tiga hari lalu hingga kini. Tapi yakinilah, dalam kecewa aku tetap memanjatkan
harap pada Allah untuk melimpahkan segala kebaikan pada saudara semata
wayangku. Tempatku mengadu dan berkeluh kesah tentang hidup.
Alasanku
merajuk sepele. Pada Jumat, 3 Juni kemarin kau tak menyempatkan diri pulang ke
rumah. Kau memilih balimau (tradisi
sebelum puasa) dengan teman-teman. Aku cemburu, di rumah ada aku dan papa yang
menungguimu. Aku bahkan berpikiran, mungkin karena tak ada mama di rumah. Tak
ada masakan enak yang akan tersedia menyambut kepulanganmu seperti biasanya.
Asal Uda tahu, aku telah mempersiapkan masakan yang kau sukai. Berharap kau
akan memakannya dengan lahap. Sampai malam datang, kau tak jua muncul. Pulangmu
hanya sebatas Padangpanjang, tak sampai Bukittinggi. Pun besoknya, Sabtu dan
Minggu kau tetap tak singgah padahal kau libur kerja. Kecewa.
3
Juni, sudah lewat tiga hari terhitung dari tahunmu berulang. Maaf datang terlambat
karena aku tengah mengubur ego. Hadiah bukan perihal benda saja, tapi tentang
semua hal yang diperuntukkan untukmu. Termasuk tulisan yang mengandung berjuta
rasa ini. Tak ingin menyesal aku tuliskan ini untukmu. Seperti tradisi kita,
bukan perayaan atas berkurangnya usia. Namun rasa syukur karena saat ini kita
masih bersama. Terima kasih untuk segalanya. Tetap hidup dengan baik ya, Da?
Sedari
dulu hingga kini, kau adalah pemicu langkahku. Doakan aku bisa menyusul
kesuksesanmu. Membahagiakan orangtua kita sepertimu. Tetap sehat dan selalu
bahagia.
Mengenai
ucapku waktu terakhir kita bertemu, pertimbangkan baik-baik. Uda punya
kesempatan dan pintar, jangan disia-siakan. Aku saja ingin seberuntung dirimu.
Semuda itu, Uda telah memiliki jaminan hingga tua. Tapi syukur bukan perihal
mencukupkan. Uda memiliki peluang, walau waktumu memang sangat padat. Aku tahu
kau sangat lelah. Bersabarlah. Manfaatkanlah apa yang kau miliki. Lanjutkanlah
studimu, itu harapan terbesar aku dan orangtua kita. Semoga dalam waktu dekat
Uda bisa merealisasikannya. Mungkin tahun ini, besok, atau beberapa tahun lagi.
Tapi semoga tak lama lagi. Semuanya demi Uda, bukan untukku, papa, atau mama. Uda
pasti lebih bijak memutuskan hidup Uda dibandingkan siapapun.
Selamat
tahun berulang Uda. 24 tahun berjaya. :D
Langganan:
Postingan (Atom)