Gate
B7, Sabtu, 26 September 2015
Setelah menyelesaikan tetek-bengek, seorang petugas menunjukkanku toilet dan musala. Pantasan saja setelah berkeliling tempat itu aku tak menemukan apa-apa, ternyata toilet tersebut berada di lantai bawah, lebih tepat jika dikatakan lantai bawah tanah (karena hanya ada toilet dan musala di sana).
Awalnya aku berniat bisa sekalian
beristirahat di sana. Ternyata, tempat tersebut kosong melompong. Dengan
perasaan was-was aku bersuci dan melaksanakan salat Isya. Pada rakaat kedua,
terdengar suara "Pssst", setelah sujud aku pun menoleh ke belakang. Imanku
sungguh rapuh, perasaan takut lebih dulu menguasai. Dengan tergesa-gesa, aku
kembali mengulang salat dan memutuskan untuk kembali ke atas. Baru kusadari, setelah
akal sehatku pulih kembali, suara tadi ternyata berasal dari pengharum ruangan.
Bodohnya aku, sungguh lemah imanku. T_T
Di atas tak seperti tadi lagi. Di depanku tak
ada yang menonton televisi yang suaranya lambat mengisi ruangan melebar itu.
Kulirik sebelah kiriku hanya kursi kosong yang berjejer. Kuputar kepala, sebelah kanan pun tak berbeda.
Dengan
berat hati kubalikkan badanku, ternyata ruangan itu memang kosong.
Bermalam di Bandara
Ternyata, pengalaman sebelumnya
belum membuatku kapok. Kali kedua aku menjadi penunggu bandara. Sebelumnya,
lebih kurang delapan jam di bandara mulai dari pagi hingga senja masih bisa kunikmati.
Lantaran, kurang matangnya perencaan.
Lagi, aku mengulang hal sama.
Bedanya, kali ini aku memilih waktu transif
malam hari. Pukul 20.10 WIB aku telah mendarat di Bandara Internasional Soekarno
Hatta. Dan tahukah Anda? Pesawat yang akan menumpangiku ke Makassar akan
berangkat pukul 05.00 WIB. Bayangkan berapa lama aku menggembel seorang diri di
ruang tunggu. Senyaman apa pun tempatnya, kalau seorang diri ditambah suasana
mendukung, sumpah! Tetap saja horor.
Niat baik dan buruk itu ternyata memiliki
cara serupa
Jarum
jam menunjukan pukul 1 lewat. Dua orang pemuda ketimuran (kulit sawo matang dan
rambut keriting) memasuki ruang tunggu terminal 1B. Ada perasaan lega sekaligus
bertambah was-was. Kali ini, bukan perasaan takut akan hal gaib yang menguasai
hatiku, tapi perasaan takut akan tindakan kejahatan yang dilakukan manusia.
Karena bisa dibayangkan dengan ciri-ciri yang kusebutkan tadi, bagaimana
konflik batin yang terjadi di hatiku? Seorang gadis cantik, berkulit kuning
langsat (tolong jangan dibayangkan ini) ditemani dua orang pria dengan rupa
yang jarang sekali tertangkap langsung di mataku.
Sesekali lirikan mataku beradu
dengan mereka. Entah karena terusik kupandangi dengan ujung mata atau apalah,
mereka pun berdiri dan mendekat. Eh, ternyata mereka menuju pintu keluar. Aku
pun kembali lega, tapi suasana mencekat
kembali terasa. Aku mengalihkan pikiran ke novel yang kubolak-balik saja sejak
tadi. Melanjutkan membaca novel yang berkisah tentang kehidupan seorang Ahmadi.
Tak lama berselang, suara langkah kaki terdengar
di belakangku. Kuputar kepala sedikit ke kanan dan dua sosok makhluk pria itu
kembali menampakkan wujudnya. Rupanya, mereka keluar sesaat untuk membeli
pengganjal perut. Mereka melewatiku yang memang hanya menunduk saja dan
berpura-pura asik dengan novel. Mereka kembali duduk di tempat semula, di
depanku sebelah kiri.
Sambil
membuka bungkusan snack, salah satu
dari mereka, pria berbadan sedikit kurus itu menuju ke arahku dan berkata,
"Kerupuknya, Mbak," aku pun
mengangkat kepala dan mengangguk (sebenarnya menandakan tidak) dan mengucapkan
terima kasih. Ternyata dia tidak hanya sekadar basa-basi saja, bungkusan
lumayan besar tersebut diletakkan di bangku kosong sebelahku.
Aku galau. Memakannya jelas aku tak
berani, membuang apa lagi, aku takut akan dianggap tak tahu etika. Di antara
perasaan bimbang tak bisa memutuskan apa-apa, ternyata ada seorang makhluk
abstrak (peace bagi yang merasa) yang
mengomen iseng dp BBM-ku dengan menakut-nakuti gadis lugu yang memang ketakutan
ini. Kumanfaatkan kesempatan tersebut untuk meminta wejangan. Dengan sangat bijak sebut saja Acek menyarankanku untuk mengambil
dan memegang kue tersebut tapi jangan dimakan.
"Setelah tak ada orang tersebut
baru di buang," tegas Acek.
Akhirnya aku pegang sebiji, setelah
kulirik-lirik sepertinya orang tersebut takkan beranjak dan bungkusan itu masih
teronggok di sampingku. Kemudian aku memutuskan untuk memasukkannya ke dalam
tas ranselku. Akhirnya setelah sampai di Makassar baru kubuang setelah kubawa
berkeliling hampir seharian. Karena dua pria itu menumpang pesawat yang sama
denganku. Wajar saja jika ciri-ciri mereka seperti itu, ternyata mereka berasal
dari Sulawesi Selatan.
Siapa yang tahu maksud dari si
pemberi. Saat ini, tipu muslihat sangatlah banyak, terkadang dengan cara yang
sama bisa menghasilkan dua niat. Niat baik dan buruk. Apapun itu, aku berterima
kasih kepada mereka telah menemani malam sunyi itu dan mengalihkan pikiran horor
dari otakku. Maaf, jika seandainya niat baik kalian kubuang begitu saja. ***