Selasa, 31 Mei 2016

Mimpi yang Harus Kutuntaskan: Mengabadikan Perjalanan


Seorang adik membangunkanku. Menyadarkan bahwa aku adalah saksi. Menaruh harap dari waktu yang pernah kuputari. Lalu menyisakan sejarah untuk mereka yang kutinggali. Terima kasih, Dik. ^_^


***
Aku menyukai tanah asing. Menikmati aroma yang menyeruak dari tempat baru. Beradaptasi dengan langit di belahan bumi lain. Dari sudut manapun, aku selalu jatuh cinta pada jingga di ufuk barat. Lalu lamat-lamat menunggu kehadiran pancaran-pancaran kilau dari atas sana. Bintang di atap bumi. Momen itu selalu membuatku mengucap syukur.

Namun dulu. Dulu sekali. Aku bukanlah seperti ini. Kata keluargaku, seorang Wici sekarang tak pernah disangka-sangka dulu.  

Aku bukanlah gadis yang suka keluyuran. Dulu, orangtuaku selalu mewanti-wanti untuk langsung pulang usai sekolah. Ketika belajar kelompok, rumahku sering dijadikan lokasi. Pun, dari pada aku harus menginap di rumah orang, kamarku sering ditempati oleh empat sampai enam orang teman. Intinya aku adalah gadis rumahan. :D

Dulu lagi, saat menginap di tempat saudara yang tak jauh dari rumah, aku kerap menimbulkan kerusuhan. Ketika malam tiba, perasaan takut menyusup masuk. Aku menangis ingin pulang. Tak mempan dibujuk, padahal sudah berjanji pada mama untuk tak rewel. Malam-malam aku terpaksa diantar pulang. Itu hanya kisah dulu. Sudah kutekankan berulang-ulang, itu hanya dulu.

Wici sekarang, berkali-kali menjadi saksi matahari terbit dari berbagai daerah lain. Menyukai dunia baru. Mengakui keberagaman Indonesia. Dan mendalami makna bineka tunggal eka.

***
Beberapa waktu lalu, aku mengobrol via BBM dengan seorang adik. Bertukar kisah. Saling menyalurkan semangat. Ada hal yang menarik perhatianku. Ia berhasil melawan kesibukan untuk mengikuti sebuah kegiatan di provinsi lain. Semua orang mempunyai kesempatan. Namun, tak semua orang memiliki kapasitas untuk mencoba. Tapi ia mengambil kesempatan itu. Aku tulari dia percikan-percikan pematik, ketika aku pernah di posisi itu. Senang melihatnya terpacu. Ia yang baru mekar, tak boleh dipatahkan.

Baginya, aku bukanlah kakak (katak) dalam tempurung. Ia menyaksikan aku berkali-kali menakhlukan ketakutan. Melawan ketidakberdayaan. Semua punya kapasitas sama. Semua berhak. Dan semua layak. Tinggal pilihan di tangan, mengambil atau melepaskan.

Walau nyatanya aku tak sehebat itu. Sempat menjadi aneh karena mencoba hal lain dari duniaku. Pernah terpuruk lantaran merasa tak memiliki kemampuan. Merasa kecil di antara orang-orang menakjubkan lainnya. Tapi aku pantang kalah sebelum berperang. Menjadi berbeda adalah sebuah anugerah.

Aku menyakini tentang proses dan perubahan. Aku tak percaya keinstanan. Semua butuh waktu. Berubah bukanlah suatu kemustahilan. Tiada yang abadi di muka bumi ini kecuali perubahan. Ungkapan itu sangat lazim dan memang nyatanya. Buktinya aku berhasil bertransformasi, dari anak rumahan menjadi layang-layang yang bisa terbang kesana kemari.

Mulanya, semua hanya keegoan. Ingin mendapat pengakuan. Dan mengubah presepsi lingkungan. Nyatanya aku salah. Ini adalah suatu yang sangat kunikmati. Menjadi hobi yang kucandui. Merindu kala tak kusuai.

Teringat lagi, ada sebuah rubrik di media masa yang sangat kugemari. Membacanya serasa melalang buana. Menambah daftar destinasi. Mulailah nama-nama rekan bermunculan di rubrik itu. Aku pun tak mau kalah. Menuliskan kisah perjalananku. Akhirnya, aku pernah menyabet gelar sering mengisi rubrik tersebut. Selain melepaskan candu, aku pun mendapat uang saku. (Rubrik itu lumayan gede bayarannya, sehalaman penuh dan banyak foto. Hehehe).

***

Rasanya sayang sekali, hanya diri sendiri yang merasai langkah yang kulewati. Terbesit niat ingin mengabadikannya. Menjadikan perjalananku sebuah buku. Insya Allah pada waktunya Tuhan berkehendak.

Terima kasih Adik, telah mengingatkan Kakak. Jika Allah telah menyerahkan takdir itu, kamu termasuk deretan pertama yang akan Kakak persembahkan.

Hayooo saling mengabadikan, Travel Writer.