Disepertengah malam ini kulambungkan berjuta-juta
doa ke langit berharap tangan Tuhan menyentuhnya. Lalu menjatuhkan dalam wujud-wujud
nyata padamu.
3
Februari 2017
Kali
ini 3 Februari yang berbeda dari hari-hari yang sudah kulewati. 3 Februari yang
kunantikan sejak mengenalmu ratusan hari lalu. 3 Februari yang tengah
kuperbincangkan pada Tuhan saat ini. 3 Februari pertama yang akan kita lewati
bersama. Dan berharap akan selalu ada kebahagiaan pada 3 Februari untuk
tahun-tahun selanjutnya yang menyertai kita. 3 Februari ini milikmu. Selamat mengenang
kelahiran.
Hai,
Abang (panggilan yang kusematkan sebelum namamu)! Aku ingin mendengar bagaimana
kisahmu saat baru dilahirkan ke dunia ini? Bagaimana engkau belajar merangkak, ngesot-ngesot, berjalan, hingga berlari
kencang? Apa kata-kata pertamamu selain owek-owek?
Tapi jelas saja kau tak akan
mengingat semua itu. Untuk itu, suatu saat akan kutanyakan itu pada orangtuamu.
Rasanya tak sabar mendengarkan semua tentangmu. Terlintas, betapa aku punya
bahan lelucon baru untuk memancing ekspresi lucu di wajahmu.
Hai,
Abang! Lelaki yang membuat rasa ingin tahuku membuncah. Bagaimana engkau bisa menjelma
menjadi sosok yang membuatku betah memandangimu berlama-lama? Bagaimana cara
beliau (orangtuamu) membesarkanmu hingga membuatku terkesima dengan caramu
memperlakukan sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya? Bagaimana
tangan Tuhan merancangmu hingga membuatku berucap syukur dipertemukan denganmu?
Hai,
Abang! Lelaki yang berhasil memancing rasa ke-kepo-anku. Bagaimana Sukri kecil dulu yang terkenal bandelnya? Bagaimana
hubunganmu dengan sesama saudara-saudaramu? Bagaimana masa remajamu? Bagaimana
kisah cinta monyetmu dengan wanita-wanita lain? Sambil merengek-rengek, aku
selalu bersemangat memintamu untuk mendongengkanku kisah hidupmu. Aku menyusuri
setiap jengkal ceritamu. Membayangkan betapa menggemaskannya Sukri kecil yang
bandel. Merasakan betapa hangat hubungan persaudaraanmu. Mencemburui betapa
indah masa ababilmu dulu. Sempat terbesit itu, lantaran tak ada aku di kisah
masa lalumu. Kekanakan bukan? Padahal jelas sekali, mereka telah jauh kau
tinggalkan di masa lalu. Masa kini jelas milikku. Dan masa nanti tengah kita
usahakan sekarang.
Hai,
Abang! Topik utama yang selalu kudiskusikan dengan Tuhan untuk masa depan nanti.
Semoga tulang rusukmulah yang tertanam di tubuhku ini. Aku berharap kaulah
pemilik dari rusuk ini. Lelaki yang selalu menjadi penyebab getaran hebat di
dadaku. Membuat darahku berdesir sangat kencang. Dan jantungku berdebar-debar
heboh.
Aku
selalu penasaran bagaimana engkau tumbuh dari 3 Februari 1992 hingga 3 Februari-nya
tahun ini, 2017. Seperempat abad, ah engkau sudah tua ternyata (hahaha). Kurasa
usia tersebut layak menggambarkan dirimu yang matang dalam menyikapi segala
prahara kehidupan. Menjadikanmu bijak dalam bersikap dan berkata. Dan menyenangkan
dalam perbuatan. Selamat berulang tahun
perak Sayang, 25 tahun.
Sebenarnya
aku tak pernah menyukai “ucapan selamat” atas berkurang usia (berkurang jatah
kebersamaan kita). Aku adalah orang yang paling malas melontarkan kata-kata
tersebut. Begitu pula untukmu kali ini. Anggap saja ucapanku di atas hanya penyempurna
sebuah momentum ulang tahun di negara kita ini. Bukankah ulang tahun identik
dengan ucapan selamat? Untuk itu kulanjuti saja dengan mendoakanmu di umur
barumu ini. Semoga segala kebaikan hendaknya menyertai setiap langkahmu,
dimudahkan segala urusanmu, diberkahi dengan rezeki serta kesehatan, dan
semakin mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta, Allah Swt.. Aamiin. Cukup itu
saja, karena sumber kebahagiaan di hidup ini hanya terletak pada kesehatan
rohani dan jasmani. Selebihnya, cukup menjadi pembicaraanku dengan Tuhan saja,
tentunya juga tentang niat kita yang satu itu. Semoga segera diijabah Allah. Aamiin
ya rabbal ‘alaamiin.