Malas
sekali rasanya meladenimu, hanya keterpaksaan yang membuatku harus melayani pertanyaanmu yang jelas sekali terasa seperti modus.
Awalnya hanya ingin berusaha bersikap manis karena tuntutan sebuah profesi yang
diamanahi kepadaku. Aku pikir kau tak berbeda dari makhluk adam lain yang
kukenal. Hanya suka mengganggu gadis polos sepertiku, singgah sebentar dan berlalu
pergi meninggalkan goresan tak berarti.
***
Malam
itu pertama kalinya aku mengenalmu, walau bernaung di jurusan yang sama tetapi
wajahmu memang asing di mataku. Mungkin karena aku termasuk orang yang tidak
terlalu peduli dengan keadaan sekitar. Aku terlalu sibuk membuang waktu sekadar
jadi pengamat lingkungan tanpa bisa mengubah sesuatu. Jadi aku lebih tertarik
untuk menggeluti sesuatu, mengisi ruang waktuku yang kosong.
Tak
ada jabat tangan sebagai salam perkenalan kala itu, kurasa senyuman sudah
mewakili sebuah kebiasaan yang berlaku di negara kita. Kemudian cerita mengalir,
awalnya hanya sekadar basa-basi, lalu berlanjut alot karena kau menimpalinya
dengan hangat. Jangan heran jika sudah connect
aku bisa membunuh kediaman yang tercipta dengan celotehan-celotehanku dan ternyata
kau berhasil mengimbangi deretan kata yang kukeluarkan. Sehingga jam terasa
berputar begitu deras dan memisahkan malam kita.
Malam
itu pun bergulir dan menemukan kita kembali di lapangan pagi berikutnya.
Rasanya aku tak terlalu bisa merekam wajahmu, karena pertemuan pertama kita
ditemani cahaya rembulan. Tetapi, tatapanmu yang teduh menyakiniku bahwa aku
tak salah orang. Dan berikutnya kita saling menghiasi hari, mengukir cerita,
dan melukis kisah kita berdua tanpa terlewati.
Aku
senang sekali menggodamu, bahagia saja melihat raut wajah yang kau pasang untuk
menanggapi tingkah kekanak-kanakanku. Memanggilmu, dan kau langsung membalasi
dengan kata “iya”, aku kembali mengulangi, “Abang” dan kau menimpali “aa?”, aku
merajuk dengan berdalih kau meninggikan suaramu padaku. Dan dengan raut mengalah
di mukamu membuat aku tersenyum puas.
***
Kau
pernah tanyakan aku, sesuatu yang tak pernah bisa diterima logikaku.
“Kamu
percaya cinta pertama?” Kata tersebut sungguh menggemaskan di telingaku, sesuatu
yang terdengar terlalu penuh tipu muslihat. Karena kupikir semua butuh proses
dan tak ada yang instan.
Dan
tanpa diduga, kau mengaku merasakan hal tersebut kepadaku. Detik itu sungguh
aku tak mempercayaimu. Aku tak ingin ini berganti dengan sebuah status baru. Karena
aku nyaman dengan keadaan ini, dimana aku bisa menunjukan watakku yang sebenarnya
kepadamu, tanpa harus dibaluti dengan kepura-puraan karena sebuah status
hubungan. Syukurlah kau tak menuntut untuk kutimpali hal serupa, kupikir kau
hanya mengungkapkan tanpa membutuhkan jawabannya. Kau tahu kenapa aku menyukai
suatu hubungan tanpa status yang mengikat? Karena aku tak mau kita saling
membenci dikemudian hari. Aku ingin tetap begini, menikmati debaran-debaran di
hati saat bersamamu. Dan tak akan kecewa jika suatu saat kau tak ada untukku,
karena memang jelas kita tak pernah menjalin suatu kesepakatan untuk saling
bersama.
Tanpa
perlu dinyatakan kedekatan kita sudah membuktikan, kita tak rela untuk saling
berbagi hati dengan yang lain. Sampai suatu ketika, kau mulai meminta kejelasan
mengenai hubungan kita. Jujur aku nyaman dengan keadaan ini, tanpa ikatan tapi
kita saling berbagi dan berusaha melengkapi. Walau terkadang gerak-gerikku
sudah melukiskan perasaan yang senada denganmu. Tetapi, rasanya tidak adil saja
bagimu. Dengan penuh keragu-raguan kata ini pun akhirnya keluar dari bibirku,
“Mari
kita coba,” dan kau cukup pintar mengartikan kataku.
***
Aku
terlalu sering mempertanyaan hubungan-hubungan yang janggal menurutku ini. Aku
selalu mempermasalahkan “waktu”. Padahal tak ada yang salah dengan waktu, hanya
saja karena hitungan waktu yang terlalu singkat memulai sebuah hubungan. Kau
meyakinkanku bahwa hubungan ini juga suatu proses untuk kita bisa lebih saling
mengenal. “Nggak ada ukuran waktu untuk sebuah cinta”, kata-katamu itu berhasil
memelukku dengan damai.
***
Terselubung
sebuah tekad yang kuikrarkan dalam hati
Dan
kau tahu
Kau
adalah orang yang berhasil meruntuhkan tekad yang kubangun
Tega
sekali kau!
Memunculkan
wajahmu di bawah rembulan
Kau
tahu? Ada sebuah kalimat yang sedetik sebelum bertemu denganmu masih kuat
kupegang. Kalimat yang kusemayamkan dalam hati setahun lebih yang lalu. Sebuah rasa
yang akan kusimpan sampai menurutku telah cukup waktu untuk dikeluarkan. Itu adalah
mengenai sebuah tekad yang tak akan bermain hati lagi, karena aku tak mau
tenggelam dalam emosi cinta yang tak akan kuasa kubendung nantinya. Plin-plan
sekali aku jadi orang, hitungan hari yang kukenal bisa menghapuskan suatu
prinpsip yang kuat kepegang selama setahun ini.
Bukan
alasan lagi bagiku untuk bersenang-senang saat bermain dengan hati. Bagiku
putus adalah sebuah kegagalan. Mungkin dalam keababilan dulu, memiliki banyak adalah
sebuah kebanggaan (*mungkin), tetapi yang kurasa kini bangga sedikit pun tak pantas
untuk melekat. Aku gagal, gagal dalam beberapa rajutan hubungan. Dan itu berdampak
sekarang yang membuatku mearsa sungguh tak nyaman dengan sejumlah pria yang
sempat kuharapkan menjadi lelaki terhebatku setelah Papa.
Tak
semua orang bisa memahami rasaku ini, tetapi bagiku waktu sudah cukup memberiku
waktu untuk kembali membangun pondasi kebersamaan kembali. Dan kau adalah orang
yang kupilih untuk membantuku merajut lagi sebuah hubungan dengan benang
kepercayaan tanpa berharap putus oleh waktu yang begitu deras mengalir.