Ketika
keadaan telah menuntut, memantaskan diri adalah keharusan
Kota itu yang
mengajarkanku akan kemandirian
Mengubah
persepsi keluarga dan lingkungan
Kota yang
berhasil menarikku keluar dari zona nyaman
Menjadikanku
laksana hal yang mesti diperhitungkan
***
Sabtu sore di Padang, 19 April 2016 kutinggalkan kota itu.
Kota yang sebenarnya tak pernah ingin kutempati. Kota yang seram dalam
bayanganku. Dulu, sewaktu memutuskan untuk berjuang di sana aku gamang sekali.
Dalam mataku, kota itu kelam, bengis, dan kejam. Ketika memandangi sekitar, ada
perasaan tak damai yang menyambut. Apa yang dikandung oleh kota itu sehingga
membuatku tak nyaman? Apa karena isu-isu yang disandang kota itu? Apa karena
kegilaan di jalan raya kota itu? Atau karena suhu kota itu yang berbeda 360
derajat dibandingkan kotaku? Entah. Kusimpulkan kota itu menakutkan.
Namun, aku punya mimpi. Hanya kota itu yang bisa
mewujudkannya. Bahkan aku rela bersabar setahun agar bisa meraihnya. Gagal
dikesempatan pertama, tak membuatku patah arang. Aku hanya punya satu rencana
dan tak punya opsi lainnya. Maka hanya ada satu jalan, menyemogakan mimpi itu.
Aku bersyukur. Apa yang kuinginkan selalu dikabulkan
Tuhan. Walau dengan jalan yang tak mulus bahkan penuh liku. Bisa saja aku
berputar haluan saat tersendat di jalan. Namun aku maju, pantang untuk mundur.
Pada waktunya, Tuhan pun menyerahkan takdirku.
Perang argumen terjadi di kepala. Antara perasaan takut
akan hal absurd dan tentang mimpi
yang harus kusegerakan nyata. Apalagi, aku ditentang oleh orangtua, terutama
mama. Tak ingin beliau aku berjuang sendirian di sana. Tak percaya beliau aku
bisa bertanggung jawab atas diri sendiri. Beliau kubur egonya dan mengantarkan
ke kota itu. Walau aku tahu di belakangku penuh dengan derai-derai air mata.
***
Bulan pertama hingga kuselesaikan semester I setiap
minggunya aku selalu pulang. Aku hanya kuliah empat hari, dari Senin hingga
Kamis. Kamis sampai Minggu di rumah. Hanya beberapa kali aku tak pulang. Pun
karena ada kegiatan KRIDA dan Kemah Bakti Mahasiswa di kampus.
Pada semester kedua, aku menemukan kehidupan. Aku jatuh
cinta akan suatu hal dan membuatku betah di kota itu. Aku bertahan
berminggu-minggu di sana. Banyak hal yang kupelajari hingga aku semakin terlena
dan ingin menggali lebih. Aku juga menemukan rumah kedua. Tentunya selain
kosku. Persepsi tentang kota itu tiba-tiba perubahan. Aku melihat kota itu
terang. Penuh pencapaian. Jika aku mau berusaha. Lambat laun, sesuatu dalam
diriku keluar. Sudah lelah ia terlalu lama bersembunyi.
Sejak saat itu. Pandangan orang tentangku terbantahkan.
Aku yang dulu dikenal manja. Bisa bertahan tanpa harus merengek ini dan itu.
Aku yang dulu tak bisa sendiri. Bisa hidup dengan baik tanpa bergantung. Aku
yang dulu dipikir tak bisa apa-apa. Bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan
rapi. Aku yang dulu selalu pergi diantar dan pulang dijemput. Bisa pergi
kemana-mana seorang diri.
Selain sibuk dengan perkuliahan dan organasasi, aku
mengerjakan pekerjaan di kos sendiri. Mencuci baju, menyetrika, memasak, dan
merapikan istanaku. Hanya sekali seumur hidup aku menggunakan jasa laundry. Saat itu, aku terserang demam
tinggi dan flu berat setelah dua minggu mengikuti dua acara. Pertama sebagai
Ketua Pelaksana Pelatihan Keterampilan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di
Bukittinggi. Minggu selanjutnya, sebagai Peserta Penulisan Esai Remaja Balai
Bahasa Provinsi Sumatra Barat di Padangpanjang. Itulah kali pertama dan terakhir aku menggunakan
jasa laundry sampai detik ini.
Kota itu menjadi
saksi hobi baruku. Jika tengah jenuh dan buntu untuk menggarap proyek menulis,
maka aku berlaga di dapur. Aku praktikan bakat memasak yang tak pernah kusadari
sebelumnya. Di rumah aku jarang memasak, bahkan bisa dikatakan tak pernah.
Paling hanya menemani mama dan mengupas ini dan itu. Jadi jangan ragu, aku bisa
memotong dan mengiris dengan baik tanpa landasan. Teman kosku adalah korban
eksperimenku. Lucunya, mereka selalu menyukainya. Dan berkata, sesuatu yang
tercipta dari tanganku pasti enak. Walau dengan bahan dan alat ala kadarnya.
Padahal, aku takut setengah mati jika seandainya mereka keracunan. Hahaha.
Selanjutnya, kota itu adalah jalan yang mengantarkanku ke
kota-kota dan negara lainnya. Baik perwakilan mahasiswa, kru, provinsi, bahkan
atas nama sendiri. Berkat itu, hobi jalan-jalanku dapat tersalurkan. Awalnya,
Januari 2014, mengikuti studi media ke Yogyakarta dengan menggunakan bus
kampus. Itulah pertama kalinya aku menggunakan bus untuk perjalanan panjang,
tiga provinsi yang kusinggahi. Biasanya hanya ke Pekan Baru, lebih kurang enam
jam. Masih tahun itu, dipertengahan Oktober aku mengikuti Pelatihan Nasional
Pers Mahasiswa di UIN Sumatra Utara. Kemudian di tahun berikutnya, Januari 2015
kembali melakukan studi media tujuan Bandung dan Jakarta sebagai panitia.
Lanjut, Agustus 2015 aku dipercaya oleh Provinsi Sumatra Barat sebagai
perwakilan untuk mengikuti Gerakan Indonesia Membaca-Menulis di Jakarta. Perjalanan
terakhir dengan menyandang status mahasiswa adalah mengikuti Musyawarah Kerja Nasional
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia di Makassar dan menjadi satu-satu perwakilan
dari Pulau Sumatra pada September-Oktober. Selebihnya, adalah mengikuti kegiatan di berbagai kota yang
ada di Sumatra Barat. (Tak teringat lagi dimana dan kapan pastinya).
Tak sampai di sana, dua hari pascawisuda, untuk suatu hal
yang kujadikan alasan agar bisa mengepakkan sayap keluar. Aku berpetualang ke
Jakarta-Semarang-Jakarta-Singapura-Malaysia-Padang. Kali pertama aku
menginjakkan kaki di negara lain. Walau sebenarnya tak seistimewa yang ada
dipikiran dulu. Tapi, aku telah berani melawan rasa takut dan ketidakberdayaan.
Bukan karena uang banyak, namun karena aku ingin membuktikan uang bukanlah
segala-galanya.