Jumat, 15 Desember 2017

KEJUMUDAN BUJANG DI SURAU: DEGRADASI PENDIDIKAN MINANGKABAU

Anjalai tumbuah dimunggu, sugi-sugi dirumpun padi.
Supayo pandai rajin baguru, supayo tinggi naikan budi.
Alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak.
Habih tahun baganti musim sandi jo adaik jan dianjak.
--- Alm. Angku Idris Hakimy Datuak rajo Panghulu ---


putrahermanto.files.wordpress.com

            Perubahan cara berpikir seiring dengan kemajuan zaman. Serentak sebagai wujud dari keniscayaan. Mutlak dan tak bisa dipisahkan. Menjejali segala ihwal di muka bumi. Menjadi sublimasi untuk kehidupan. Ada patokan sehingga menjadi tolok ukur.
            Ada sesuatu yang mencengkeram pikiran kita sebagai entitas kultur. Hal itu mengundang pertanyaan yang jawabannya tak sesuai dengan realitas. Apa perubahan cara berpikir kita mutlak meniru Barat selayaknya bangsa penjiplak? Tentu jawabannya ‘tidak’. Namun nyatanya, yang timbul dipermuka

an mencerminkan itu. Identitas bangsa kaya akan budaya samar-samar kian pudar. Kebudayaan berhasil digerus oleh modrenisasi. Daerah kita, Minangkabau yang merupakan salah satu suku di Indonesia juga terkena imbasnya. Miris rasanya, melihat kemrosotan jatidiri generasi bangsa bangsa.
            Ada suatu tradisi yang terlupakan hingga berakhir dengan dilupakan. Mustahil jika masih terjamah lagi sekarang. Kebiasaan secara turun-temurun yang telah melahirkan tokoh-tokoh besar dari Sumatra Barat, seperti Buya Hamka, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan nama-nama familiar yang mengesimakan tanah air. Sederet nama yang telah menggoreskan keberadaan akan perjuangan republik ini yang disentralisasi menjadi Indonesia.
            Minangkabau merupakan salah satu dari lima suku di dunia yang menganut matrilineal (mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu). Sistem matrilineal yang dianut oleh masyarakat Minangkabau menetapkan seorang lelaki yang baru menikah untuk tinggal di rumah gadang (tempat bermukimnya keluarga besar) istri. Banyaknya kamar di rumah gadang tergantung jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Lalu, perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja ditempatkan di kamar bersama di ujung yang lain. Sementara pengantin yang baru menikah mendapat kamar di depan. Tak ada pembagian kamar untuk anak laki-laki atau bujang di rumah gadang.Namun, Minangkabau mengajarkan nilai-nilai untuk perkembangan anak laki-laki yang akan menjadi pemimpin atas diri sendiri bahkan orang banyak nantinya. Ialah budaya surau. Kita sebut saja dengan istilah bujang di surau.
            Perihal tentang surau (masjid) yang dijadikan sebagai bagian dari budaya Minangkabau dulunya. Elemen penting untuk edukasi masyakarat di ranah Minang. Lembaga pendidikan informal untuk menempa pemuda selayaknya manusia yang berakal, berbudi, dan memiliki iman yang mumpuni. Bahkan, disinyalir surau merupakan institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau. Serupa organisasi tidak resmi yang terbentuk di tengah masyarakat.
            Dahulunya, di Sumatra Barat, khususnya Minangkabau memasuki usia sekolah (enam sampai tujuh tahun) anak laki-laki telah diperkenalkan dengan kebiasaan bujang di surau. Pada usia itu, mereka tidak tidur di rumah orang tuanya lagi. Ketika waktu magrib datang, mereka beranjak menuju surau untuk melakukan salat berjamaah. Menjelang Isya, aktivitas mereka diisi dengan membaca Alquran bersama. Setelah melakukan salat Isya berjamah kembali, kegiatan dilanjutkan dengan mendalami ilmu-ilmu agama yang disampaikan oleh angku (guru).
            Hal di atas bertujuan untuk mengamalkan filsafat Minangkabau, "Adaik basandi sarak, sarak basandi kitabullah"Maksudnya adalah adat yang ditopang oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Alquran dan hadisJadi, segala sesuatu yang ditetapkan di Minangkabau berdasarkan syariat agama. Untuk itu, setiap malamnya di surau dilakukan pendalaman hukum agama, tafsir Al-Qur’an, dan ilmu lainnya. Sementara anak kecil belajar agama bersama angku dan anak yang lebih dewasa biasa akan belajar kesenian tradisional Minangkabau yaitu silat di luar surau. Lalu, ketika malam sudah mulai beringsut larut, mereka semua kembali ke surau untuk beristirahat. Setelah usai melakukan salat Subuh berjamaah, anak-anak kembali ke rumah orangtua untuk bersiap berangkat sekolah.
            Hal tersebut dilakukan setiap hari hingga bertahun-tahun lamanya. Saat usia anak sudah beranjak dewasa, barulah mereka pergi merantau. Menambah ilmu dan melanjutkan sekolah ke daerah lainnya. Kisaran umur anak laki-laki yang belajar dan tidur di surau antara tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun. Budaya bujang di surau hanya berlangsung sampai tahun 1980-an. Kebudayaan itu terhenti tanpa ada aba-aba pembubaran secara konvensional. Surau telah bertransformasi sebagai tempat beribadah saja, bukan lagi institusi pendidikan Islam.
            Padahal banyak faedah yang bisa dipetik jika menjalankan budaya bujang di surau itu. Pertama, mengajarkan kemandirian, membiasakan anak tidak bergantung kepada orangtua sehingga bisa mengandalkan diri sendiri jika melakukan sesuatu. Kedua, pemimpin, melatih menjadi pribadi yang dapat diandalkan di lingkungan. Ketiga,pergaulan, anak harus bisa bergaul dan saling menghargai sesama teman. Keempat, mengasah kedisiplinan, secara kontinyu mengikuti salat berjamaah akan membentuknya menjadi pemuda yang beriman dan disiplin. Kelima,memiliki loyalitas yang tinggi, sedari kecil telah dipupuk untuk peduli terhadap lingkungan sehingga menimbulkan rasa sosial dan kebersamaan. Keenam, menjadi muslim yang seutuhnya, diharapkan mampu mengamalkan dengan baik kaidah-kaidah agama yang telah diajarkan.
            Saat ini, di surau tidak lagi ditemukan rutinitas tersebut. Tak ada pemuda yang memenuhi surau layaknya Minangkabau masa lampau. Mirisnya, bahkan surau tak lagi berpenghuni. Hanya didatangi oleh beberapa orang tua yang telah renta. Lenyapnya bujang di surau juga berdampak pada kebudayaan Minangkabau yang lain. Silat, kesenian Minangkabau itu juga sedang di ujung masa kejayaannya. Walau terkadang masih dijumpai di beberapa sekolah atau sanggar seni. Namun, tiada lagi silat yang diajarkan secara turun-temurun dari regenerasi.  
            Fenomena yang merisaukan saya temui saat bulan Ramadan tahun lalu. Kala itu, surau diramaikan oleh penduduk (tua, muda, dan anak-anak). Sejatinya anak-anak, ketika mereka berkumpul dengan teman sebaya akan menimbulkan keributan (bermain, bercanda, dan bergelut). Hal itu tentunya menggangu jamaah tarawih, walau mereka hanya bermain di luar surau. Sangat disayangkan, mereka yang berwenang malah memarahi anak-anak tersebut. Bukan diberi pemahaman, malah didokrin bahwa surau adalah tempat suci yang tidak boleh dirusak oleh keceriaan anak-anak.
            Anak-anak, mereka adalah cikal-bakal masyarakat, generasi yang akan melanjutkan tampuk kepemimpinan nantinya. Semasa kecil saja mereka sudah diwanti-wanti agar menjauhi surau saat melakukan kesalahan. Mereka tak dirangkul, tak dibimbing, dan tak dinasihati dengan semestinya. Bagaimana bisa anak-anak mencintai surau? Bagaimana bisa mereka menjadi pemimpin yang berilmu dan berakhlak nantinya? Jika contoh yang mereka pandang serupa itu.
            Anak-anak akan ogah-ogah-an jika diajak ke surau lantaran takut dimarahi lagi. Mereka akan memilih untuk duduk terpaku di depan layar televisi. Menonton sajian acara yang semestinya tak layak lulus sensor untuk dunia mereka. Mengkonsumsi film yang mengumbar kekerasan, memperagakan kemaksiatan, menampilkan kehidupan mewah penuh tipu muslihat, menunjukkan tingkah laku durhaka pada orangtua, dan berbagai lagak lain menjerumuskan anak-anak.
            Ini paling disesali, para orangtua acuh bahkan tak sadar akan bencana kemerosotan moral yang melingkari lingkungan anak. Lalu, diam-diam merasuki jiwa anak sehingga membentuk karakter yang tak manusiawi. Mereka terhipnotis dengan sajian-sajian yang hanya menghibur semata tanpa manfaat. Kebanyakan orangtua sangat permisif dengan fenomena itu.
            Selain itu, faktor lain yang mengikis budaya bujang di surau ialah tak adanya panutan di tengah masyarakat. Bukan berarti tokoh-tokoh legendaris Sumatra Barat yang telah disebutkan di atas luntur pengaruhnya. Namun di tengah masyarakat, Minangkabau telah kehilangan pengayom untuk melestarikan budaya ini. Tak ada tokoh masyakarakat yang menjadi penggerak untuk melajukan kembali budaya yang mandek ini. Lalu, bagaimana caranya anak-anak bisa mengenali budaya yang telah termakan zaman? Ditakutkan nantinya, Minangkabau akan kehilangan jati diri. Tak menutup kemungkinan akan menjadi bangsa penjiplak Barat seutuhnya, kemudian membuang budaya sendiri. Jika budaya telah hilang, sudah pasti Minangkabau akan tinggal nama saja dalam bingkai museum.
            Ironisnya, ada tempat fovarit yang menenggelamkan ketenaran surau. Pemuda-pemuda lebih senang berkumpul di sana sampai berlarut-larut. Bergelak-gelak derai dan bermain hingga berlanjut. Tempat yang semakin menghapus budaya Minangkabau dan digantikan dengan kesenangan lainnya. Adalah lapau (kedai). Tongkrongan masyarakat Minangkabau saat ini. Walau belum mayaoritas, namun lapau telah merebut masa keemasan surau di Minangkabau.
            Tuntutan zaman mengakibatkan degradasi pendidikan di Minangkabau. Minangkabau tak hanya kehilangan waris, namun juga pewaris hingga warisan (budaya)-nya. Membuncahkan hati saya sebagai penerus kultul Minangkabau ini. Akan jadi apa daerah yang sebenarnya kaya akan budaya ini? Daerah yang menjunjung tinggi adat istiadat. Daerah yang memiliki panorama alam yang indah. Minangkabau, sejatinya sangatlah kompleks.  
            Tak ditemukan lagi budaya bujang di surau diharapkan hanyalah kejumudan sesaat. Lalu, kembali meleleh dan mencair di tengah masyarakat Minangkabau. Bujang di surau bukanlah berakhir, namun hanya saja dilupakan. Ia masih milik Minangkabau, budaya yang sepatutnya dibanggakan. Saya berharap budaya tersebut kembali dibangunkan masyakarat dari mati surinya.
            Memang, untuk kembali ke surau di zaman silam rasanya kurang pantas dihadapkan dengan kondisi sekarang. Dunia saat ini tak bisa disamakan dengan tahun  1900-an. Bujang mana yang mau tidur lagi di surau beralaskan tikar, mengingat kasur mereka di rumah sangatlah empuk. Akan tetapi, menyulutkan kembali surau menjadi sarana belajar dan diskusi agama bagi pemuda Minangkabau masih bisa diusahakan. Bahkan memiliki peluang yang besar jika segala pihak (penggerak, penerus, dan pembimbing) memiliki visi dan misi yang sama. Pun saat ini, hampir semuanagari di Minangkabau memiliki beberapa surau. Jadi, tak perlu jauh-jauh untuk ke surau.
            Dengan demikian, filsafat Minangkabau sejatinya sesuai dengan karakter masyakarat sekarang. Atau kita harus mengganti filsafat tersebut agar tak besar omong saja, namun melompong nyatanya. Disamping itu, diharapkan surau juga kembali dapat digunakan sebagai tempat pengembangan adat dan budaya Minangkabau. Mudah-mudahan bujang di surau hanya mati sesaat kemudian hidup lagi dengan lebih jaya. Saya berharap ini dapat menjadi evokasi bagi pemuda Minangkabau sehingga menjadi monolit untuk Minangkabau lebih baik lagi.