Aku yang dari dulu suka sekali
membututimu, dan tak ikhlas jika kamu tinggalkan. Padahal kalau pun aku ikut,
aku hanya akan mendesak-desakmu untuk segera pulang. Itu jelas sekali membuat
Mama kesal kan? Mungkin itulah alasan kenapa Mama sering tak mengajakku ikut
serta jika pergi, karena aku gadis yang rewel. Tetapi, aku tak pernah jera, dan
kebiasaanku itu masih berlaku hingga sekarang ketika aku pulang ke rumah.
Boleh aku sedikit bercerita, Ma? Aku
yakin Mama mengangguk mengiyakan, karena aku tahu, penolakan tak akan rela
keluar dari mulutmu. ^_^
***
Ketika liburan semester ini, aku
kembali membututimu dengan ikut serta mengobrak-obrik pasar untuk keperluan perut
sekeluarga. Semuanya menggiurkan, dan kita berbelanja banyak waktu itu. Termasuk
dengan keinginanku yang pengen ini dan itu. Aku tahu itu pasti akan berat,
bukannya sok pahlawan, tetapi tenagamu dan tenagaku itu tak terlalu kontras
berbeda. Aku menawarkan membawakan belanjaan tersebut, karena itu jelas sekali berat
untuk Mama bawa sendiri. Tapi hanya kantong ringan yang Mama beri kepadaku.
Tentu aku tidak puas, dan meminta kembali yang ada ditanganmu. Tetapi Mama
berkata baik-baik saja, dan tak mau memberikannya kepadaku. Mama tahu, detik
itu juga aku tersentak hebat, ternyata aku masih putri kecilmu yang tak rela
kau lihat kesusahan. Panas rasanya mataku, hal kecil saja sudah cukup
membuktikan, bahwa kau begitu menyayangiku.
Mama tahu pasti aku anakmu yang paling
keras hati. Sering berdebat denganmu untuk hal yang kupertahankan, memang begitu
tabiatku, bersitegang untuk hal yang kuanggap benar, kurasa itu sering membuatmu bersedih. Pun, terkadang gaya
bicaraku membuat orang beranggapan kalau aku sering meninggikan suara
terhadapmu. Tapi Mama tahu kan, aku tak bermaksud melukai hatimu, aku hanya
mengeluarkan emosiku. Aku yakin, Mama lebih tahu aku dari pada diriku sendiri,
karena aku anakmu. Aku tak peduli orang mengatakan aku tak berhati-hati menjaga
hatimu, yang terpenting bagiku adalah aku paling tak rela hatimu terluka karena
tajamnya diriku. Rasanya terlalu banyak jika aku harus melakukan pengakuan
kesalahan-kesalahanku padamu di sini. J
“Maaf”, mungkin empat huruf tersebut
belum mewakili kekhilafan yang kulakukan, setidaknya aku berharap kata tersebut
menunjukan bahwa aku menyesal telah menambah butiran-butiran duka di hatimu,
Ma.
***
Aku tak ingin mengucapkan “SELAMAT
ULANG TAHUN MA”, karena kata tersebut jelas membuat waktu semakin mengurangi
jatahku berlindung di tempat ternyaman di dunia ini, yaitu di pelukanmu.
Tetapi, aku juga ingin kau tahu aku bahagia di detik ini, karena Allah masih
menganugerahiku setahun ini dalam kebersamaan kita.
Ini adalah doa yang kuselipkan
ditahunmu yang kembali berulang, semoga kebersamaan tersebut kembali menyentuh
kita di tahun-tahun yang akan datang. Kini angka 4 didampingi angka 4, itulah
usia yang terhitung sejak kelahiranmu, 44 tahun yang silam.
Terima kasih telah mengapdikan lebih dari
separuh hidupmu untuk kami. Keluarga kecil yang bergantung pada tangan hangatmu,
yang membuat perut ini kenyang terisi makanan yang lezat. Aku bahkan sering
sewot, melihat Mama harus seharian di dapur ketika keluarga besar kita
berkumpul. Bahkan aku berkata, “memangnya Mama pembantu mereka”, kini aku tahu
jawabannya, mereka bukannya malas, tetapi masakan Mama memang nikmat ditambah
keikhlasanmu untuk melakukannya.
Terima kasih masih menperlakukanku
seperti gadis kecilmu, tak ada sesuatu pun yang berubah dari caramu
memperlakukanku, kecuali kecemasanmu yang bertambah. Karena gadismu ini sudah
beranjak dari pangkuanmu dan kini memijak dunia dengan kakinya sendiri. Jangan
takut Ma, aku takkan merengek-rengek kalau kaki ku terinjak duri lagi. Hehhe
Terlalu banyak daftar terima kasih yang
harus kulantunkan jika mengingat semuanya. Karena kata terima kasih tidak akan
bisa terlepas dari sosokmu, dan tak akan pernah habis untuk kuucapkan kepadamu.
Jadi untuk mewakili semuanya, aku akan menyingkatnya saja, terima kasih untuk
segalanya, Ma. Wanita tertangguh yang memeluk hidupku, bangga memilkimu.
Terima kasih telah menjadi Mamaku.
Wici sayang Mama..
Seperti teman saya pernah, "Hal-hal seperti inilah yang membuat saya yakin kalau Surga itu benar ada di bawah telapak kaki Ibu."
BalasHapusTetap menulis, Ci. :)
Dan saya juga percaya bahwa syurga memang di telapak kaki ibu..
HapusIyaaa, makasi bg :)