Cemburu
ketika melihat Mama memiliki lelaki sepertimu. Saat main rumah-rumahan waktu
kecil dulu, aku selalu memimpikan punya lelaki hebat sepertimu. Sebenarnya itu
hanya permintaan anak kecil yang polos, karena tanpa meminta seperti itu pun,
kau memang pria terhebat dalam hidupku. Kalau diingat-ingat, jarang sekali
amarah kau lampiaskan padaku. Padahal aku ini gadis egois yang tak mau mengalah
dan keras kepala. Melihat kau yang tak pernah menuntutku apa-apa, membuatku
sadar cintamu memang tak terbatas.
***
Tapi
waktu terus berputar, gadis kecilmu ini telah beranjak meninggalkan masa-masa
kecilnya dalam pelukkanmu dulu. Dewasa mulai merasukiku, dan sepertinya memberi
jarang di antara kita. Banyak yang ingin aku ceritakan padamu, tentang apa yang
kulewati saat masa ini mulai kurasakan. Aku memang tetap bercerita padamu,
tetapi ada batas yang membuat aku tak bisa blak-blakan tentang sesuatu. Sesuatu
yang sedikit demi sedikit memberikan tempat bagi pria lain di hatiku. Ini tentang
cinta yang mulai menguasai hatiku. Aku tak tahu, apa kau tidak melihat aku ini
bukan lagi gadis kecilmu, Pa. Atau kau takut aku akan berbagi hati dengan pria
lain. Jangan takut Pa, tempatmu paling tinggi di hatiku.
Terkadang
aku tak sadar, kalau aku merindukanku. Kenapa kau tak bilang langsung padaku,
Pa. Apa Mama akan selalu menjadi perantara di antara kita? Dalam berbagai hal
kita mirip, tentunya aku dekat sekali denganmu. Kita kompak untuk membuat Mama
marah-marah melihat kita bertingkah. Kita sering menghabiskan waktu berdua, dan
lupa kalau ada Mama yang menunggu kita. Ketika ada sesuatu yang aku inginkan,
kita berusaha keras berdua mengerjakannya. Melihat semangatmu itu, aku yakin
sekali aku keturunan darimu. Karena aku juga akan berusaha keras jika ada satu
target yang ingin aku capai.
Tapi
satu yang menjadi dinding pembatas kita, tembok yang tak bisa kau tembus dariku.
Itu dia, masalah cinta. Kita kaku bercerita tentang itu, bahkan mungkin topik
itu berusaha tidak kita sentuh. Agar ketegangan di antara kita tidak terjadi. Aku
ingat ketika masa SMA-ku dulu. Kau selalu merazia handphone gadismu ini, bahkan aku terpaksa mengganti beberapa nama
kontak di handphoneku agar aku tidak curiga.
Gadis kecilmu ini dulu nakal. Maaf Pa, aku baru jujur sekarang. Hehehe
***
“Kalau
disana, jangan lupa Papa, Nak. Sekali-sekali sms juga, tanyain kabarnya, Papa
murung kalau handphonenya tak ada
pesan darimu.” Aku tersentak mendengar kata Mama malam itu melalui telepon
seluler. Aku tak sadar, kalau aku menambah beban di hati Papa. Cukuplah dia
lelah dalam bekerja, malah aku menambah-nambah pikirannya.
“Iya
Ma, maaf. Akhir-akhir ini tugas kampusku lagi banyak-banyaknya, makhlum ntar
lagi ujian,” kilahku.
Sebenarnya
tak ada satu pun, dari kegiatan di kampusku yang seharusnya merenggut waktuku
untuk sekadar menyapamu melalui pesan di handphone.
Tetapi, memang pikiran anak tak sepanjang pikiran orang tuanya. Maaf Pa, aku
tak pernah peka terhadap hal itu. Karena tipemu sama denganku. Aku kira kau
diam, kau baik-baik saja, ternyata aku salah.
***
“Kalau
aku udah sukses, aku bawa Papa keliling Indonesia deh,” kataku saat kami sedang
cerita-cerita di kampung waktu aku baru pulang Pelatihan Jurnalistik dari Medan.
“Iya, Papa pengennya ke daerah-daerah yang belum Papa kunjungi. Papa pengen
menjajakan kaki, minimal di setiap provinsi di Indonesia,” tanggapmu.
“Siiip,
Pa. Kita nanti perginya bareng-bareng. Pasti asyik tu. Aku juga pengen ketanah
kelahiranku lagi.” Memang aku terlahir jauh, di Indonesia bagian timur, bukan
di kampung halamanku di Indonesia Barat. Aku lahir di Ambon, salah satu bukti Papa
memang seorang perantau, mengantarkanku lahir disana.
Aku
memang mirip sekali denganmu, apa lagi dalam hal travelling, hobiku itu jelas sekali warisan darimu. Waktu Papa
muda, Papa juga suka sepertiku, mengunjungi kota-kota lainnya. Senang saja ketika
bercerita tentang mimpi denganmu. Karena mimpi kita sama. Walau hanya dari
ceritaku, kau sepertinya juga sedang berlayar disana. Satu hal lagi ayng
membuatku bangga padamu, pengetahuan umummu, lebih hebat dari padaku. Jadi
ketika kita saling bercerita, kau tak hanya mendengarkan, tapi kau menimpali
dengan hal yang bahkan baru kuketahui. Mungkin karena kau suka membaca dan
menonton sesuatu yang bermanfaat.
***
Tidak
beberapa hari lagi, jatahmu bersamaku akan berkurang. Aku tak pernah ingin
merayakan bertambahnya umurmu. Karna aku takut waktu akan semakin mengurangi
kebersamaan kita. Tetapi, aku tetap tak bisa membendung perasaan syukur ini,
karena Tuhan masih menyayangi kita, dengan kebersamaan yang tetap hangat dan
tak akan pernah dingin di lewati waktu.
Jelas
sekali keinginanmu untuk berkeliling negara kita, Indonesia ini belum bisa
kepenuhi di saat tahunmu berulang kembali tahun ini. Tak akan bisa kukadoi
untukmu tiket jalan-jalan pada tanggal 11 November bulan ini. Aku sadar
sesadar-sadarnya, walau kau tak pernah menuntutku untuk membayar janji yang
telah kubuat sendiri itu, tetapi itu tekad yang akan kuhadiahi untukmu suatu
hari nanti. Bersabarlah, sampai waktu menjodohkan kita dengan saat-saat itu,
Pa. Akan ku bawa kau menginjakkan kaki dimana pun aku mau.
Terima
kasih sudah 20 tahun bersamaku, bersama keluarga kecil kita yang hangat. Semoga
akan ada tahun-tahun berikutnya dengan aku yang telah bisa membuatmu bangga.
Walau malas sering mengejarku, dan aku juga terkadang mengajak malas untuk
berteman. Tetapi, aku juga berkawan dengan usaha, Pa. Agar aku bisa membuatmu
bangga suatu hari nanti memiliki gadis sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar