Jumat, 09 Januari 2015

Pria Mamaku



Cemburu ketika melihat Mama memiliki lelaki sepertimu. Saat main rumah-rumahan waktu kecil dulu, aku selalu memimpikan punya lelaki hebat sepertimu. Sebenarnya itu hanya permintaan anak kecil yang polos, karena tanpa meminta seperti itu pun, kau memang pria terhebat dalam hidupku. Kalau diingat-ingat, jarang sekali amarah kau lampiaskan padaku. Padahal aku ini gadis egois yang tak mau mengalah dan keras kepala. Melihat kau yang tak pernah menuntutku apa-apa, membuatku sadar cintamu memang tak terbatas.
***
Tapi waktu terus berputar, gadis kecilmu ini telah beranjak meninggalkan masa-masa kecilnya dalam pelukkanmu dulu. Dewasa mulai merasukiku, dan sepertinya memberi jarang di antara kita. Banyak yang ingin aku ceritakan padamu, tentang apa yang kulewati saat masa ini mulai kurasakan. Aku memang tetap bercerita padamu, tetapi ada batas yang membuat aku tak bisa blak-blakan tentang sesuatu. Sesuatu yang sedikit demi sedikit memberikan tempat bagi pria lain di hatiku. Ini tentang cinta yang mulai menguasai hatiku. Aku tak tahu, apa kau tidak melihat aku ini bukan lagi gadis kecilmu, Pa. Atau kau takut aku akan berbagi hati dengan pria lain. Jangan takut Pa, tempatmu paling tinggi di hatiku.
Terkadang aku tak sadar, kalau aku merindukanku. Kenapa kau tak bilang langsung padaku, Pa. Apa Mama akan selalu menjadi perantara di antara kita? Dalam berbagai hal kita mirip, tentunya aku dekat sekali denganmu. Kita kompak untuk membuat Mama marah-marah melihat kita bertingkah. Kita sering menghabiskan waktu berdua, dan lupa kalau ada Mama yang menunggu kita. Ketika ada sesuatu yang aku inginkan, kita berusaha keras berdua mengerjakannya. Melihat semangatmu itu, aku yakin sekali aku keturunan darimu. Karena aku juga akan berusaha keras jika ada satu target yang ingin aku capai.
Tapi satu yang menjadi dinding pembatas kita, tembok yang tak bisa kau tembus dariku. Itu dia, masalah cinta. Kita kaku bercerita tentang itu, bahkan mungkin topik itu berusaha tidak kita sentuh. Agar ketegangan di antara kita tidak terjadi. Aku ingat ketika masa SMA-ku dulu. Kau selalu merazia handphone gadismu ini, bahkan aku terpaksa mengganti beberapa nama kontak di handphoneku agar aku tidak curiga. Gadis kecilmu ini dulu nakal. Maaf Pa, aku baru jujur sekarang. Hehehe
***
“Kalau disana, jangan lupa Papa, Nak. Sekali-sekali sms juga, tanyain kabarnya, Papa murung kalau handphonenya tak ada pesan darimu.” Aku tersentak mendengar kata Mama malam itu melalui telepon seluler. Aku tak sadar, kalau aku menambah beban di hati Papa. Cukuplah dia lelah dalam bekerja, malah aku menambah-nambah pikirannya.
“Iya Ma, maaf. Akhir-akhir ini tugas kampusku lagi banyak-banyaknya, makhlum ntar lagi ujian,” kilahku.
Sebenarnya tak ada satu pun, dari kegiatan di kampusku yang seharusnya merenggut waktuku untuk sekadar menyapamu melalui pesan di handphone. Tetapi, memang pikiran anak tak sepanjang pikiran orang tuanya. Maaf Pa, aku tak pernah peka terhadap hal itu. Karena tipemu sama denganku. Aku kira kau diam, kau baik-baik saja, ternyata aku salah.
***
“Kalau aku udah sukses, aku bawa Papa keliling Indonesia deh,” kataku saat kami sedang cerita-cerita di kampung waktu aku baru pulang Pelatihan Jurnalistik dari Medan. “Iya, Papa pengennya ke daerah-daerah yang belum Papa kunjungi. Papa pengen menjajakan kaki, minimal di setiap provinsi di Indonesia,” tanggapmu.
“Siiip, Pa. Kita nanti perginya bareng-bareng. Pasti asyik tu. Aku juga pengen ketanah kelahiranku lagi.” Memang aku terlahir jauh, di Indonesia bagian timur, bukan di kampung halamanku di Indonesia Barat. Aku lahir di Ambon, salah satu bukti Papa memang seorang perantau, mengantarkanku lahir disana.
Aku memang mirip sekali denganmu, apa lagi dalam hal travelling, hobiku itu jelas sekali warisan darimu. Waktu Papa muda, Papa juga suka sepertiku, mengunjungi kota-kota lainnya. Senang saja ketika bercerita tentang mimpi denganmu. Karena mimpi kita sama. Walau hanya dari ceritaku, kau sepertinya juga sedang berlayar disana. Satu hal lagi ayng membuatku bangga padamu, pengetahuan umummu, lebih hebat dari padaku. Jadi ketika kita saling bercerita, kau tak hanya mendengarkan, tapi kau menimpali dengan hal yang bahkan baru kuketahui. Mungkin karena kau suka membaca dan menonton sesuatu yang bermanfaat.
***
Tidak beberapa hari lagi, jatahmu bersamaku akan berkurang. Aku tak pernah ingin merayakan bertambahnya umurmu. Karna aku takut waktu akan semakin mengurangi kebersamaan kita. Tetapi, aku tetap tak bisa membendung perasaan syukur ini, karena Tuhan masih menyayangi kita, dengan kebersamaan yang tetap hangat dan tak akan pernah dingin di lewati waktu.
Jelas sekali keinginanmu untuk berkeliling negara kita, Indonesia ini belum bisa kepenuhi di saat tahunmu berulang kembali tahun ini. Tak akan bisa kukadoi untukmu tiket jalan-jalan pada tanggal 11 November bulan ini. Aku sadar sesadar-sadarnya, walau kau tak pernah menuntutku untuk membayar janji yang telah kubuat sendiri itu, tetapi itu tekad yang akan kuhadiahi untukmu suatu hari nanti. Bersabarlah, sampai waktu menjodohkan kita dengan saat-saat itu, Pa. Akan ku bawa kau menginjakkan kaki dimana pun aku mau.
Terima kasih sudah 20 tahun bersamaku, bersama keluarga kecil kita yang hangat. Semoga akan ada tahun-tahun berikutnya dengan aku yang telah bisa membuatmu bangga. Walau malas sering mengejarku, dan aku juga terkadang mengajak malas untuk berteman. Tetapi, aku juga berkawan dengan usaha, Pa. Agar aku bisa membuatmu bangga suatu hari nanti memiliki gadis sepertiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar