Rabu, 12 Oktober 2016

Nama, Bekal Makan Siang, dan Cinta ‌


Bekal Cinta

Di masa lalu ada dua nama yang menyita kehidupan. Nama yang ingin kutinggalkan saja di masa itu. Nama yang mengajarkan akan arti pengkhianatan. Nama yang merenggut kesetiaan. Dan nama yang tak kulafaskan lagi di mulut.

Namun jauh sebelumnya, salah satu nama tersebut telah lebih dulu kusandang diakhir namaku. Hingga aku yang biasa bangga dengan nama kepanjanganku, menyingkat-nyingkatnya agar nama tersebut tak menyeret kenangan itu ke masa kini.

Aku bertakdir dengan nama itu.
Walau berbagai cara menghindari nama tersebut, namun aku telah bersurat dengan itu. Di kehidupan sekarang, aku kembali bergumal dengan nama itu. Seorang rekan kerja, yang kupanggil Kakak bernama itu. Awal perkenalan kami saat akan mengikuti tes psikotes. Lidahku kelu saat ia menyebut namanya, tetiba kisah masa lalu terputar kembali. Bagiku yang masih baru akan kota ini dan baru mencicipi tes masuk kerja tertolong dengan sikap kekakak-annya (karena memang ia lebih tua dariku). Ia mengayomiku dan dengan tawakal menjadi penunjuk jalan berkali-kali untuk arah yang sama demi seseorang yang navigasinya kacau sepertiku.

Lalu, kami selalu bersama karena berada di ruang kerja yang sama walau berbeda divisi. Disela waktu, kami bertukar kisah dan makan siang bersama. Hingga pada suatu hari, lidah ini telah kebal mengunyah masakan luar, ia pun dibekali kotak makan siang oleh mamanya. Andai mamaku juga berada di sini, maka makan siang kami tentu akan saling bertukar. Ia mencicipi bekalku, begitupun aku. Namun, gadis rantau sepertiku tak akan sempat membekali dirinya.

Pada bekal makan siangnya, aku belajar perihal cinta yang tak pandang perkenalan. Kami hanya saling mengenal melalui cerita Kakak. Aku yang tak pernah bertatap muka dengan beliau dan belum pernah mencium tangan ibunya juga dibekali makan siang.
Ia berujar, "Anggap saja Mama Kakak adalah mama kamu di kota ini, asal jangan dipeluk-peluk". Ah gimana mau meluk, ketemu aja belum pernah. Haaha. Walau aku memang rindu pelukan karena didera banyak pikiran dan kerjaan.

Terkadang ia malah bertanya, aku lagi pengen makan apa? Atau kamu suka ini atau itu tidak? Ah, ia pasti tahu aku penikmat segalanya, kecuali jengkol dan petai. :D

Namun ketika aku berucap tentang makanan yang kurindui, esok atau lusanya makanan itu akan nongol di bekal kami.

Andai mamaku tahu anaknya seperti benalu saja, mungkin ia akan bersedih. Orangtuaku tak pernah keberatan aku menghabiskan berapa pun uang untuk lambungku. Ia selalu berpesan, kalau ingin sesuatu, belilah! Jangan ditahan.

Ini perihal lidah yang merindukan masakan penuh cinta. Dan dari bekal itu, aku juga dibekali kasih. Tentang makanan yang lebih sehat jika masuk ke dalam tubuh ini. Begitu kata Kakak.

Untuk Kakak, sedari kecil aku selalu berangan-angan memiliki kakak perempuan yang bisa kuajak bermain dan menampung ocehanku. Terima kasih telah membawakanku bekal makan siang.
Untuk Mama, terima kasih telah menyiapkan bekal makan siang pada anak yang belum pernah kau jumpai.

Aku merasa beruntung memiliki kakak dan mama di perantauan ini. Aku dikeliling kebaikan dan bersyukur atas kehidupan sekarang. Lalu ia menjawab, "Tentu di masa lalu kamu juga berbuat baik kepada yang lain". Aku tak peduli tentang itu Kak, yang ingin kuingat adalah kebaikan-kebaikan semua hingga aku tak pantas lelah berucap syukur.

#bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar