Senin, 06 Juni 2016

Sebuah Pengakuan

Jambak, 3-5 Juni 2016
Terima kasih atas dua malamnya, Sayang.
            Sudah lama tak berjumpa sejak kita menyandang gelar tersebut. Dari jauh kau mengendarai motor seorang diri demi menjumpaiku. Kau berkunjung ke desaku. Bermalam di rumah. Menemaniku dan melepas rindu. Kebetulan mamaku tengah di Pulau Jawa (Semarang) untuk suatu urusan keluarga. Sudah lama sejak terakhir kali kau kesini. Kalau ingatanku tak salah, kala itu kita masih duduk di Semester 3.
            Terima kasih telah bersamaku dalam kesahajaan. Berbagi cerita dengan papaku dan memahami nenekku. Menemaniku jalan-jalan, menampung ocehanku, belanja, memasak, hingga tidur bersama seperti dulu. Melihatmu tidur begitu pulas membuatku bahagia. Membahagiakan memiliki sahabat yang membuatku selalu nyaman.
            Terima kasih juga untuk hadiah couple-annya. Baju, gelang, dan anting kembaran. Aku tak ulangtahun, tak ada peringatan apa-apa, tapi kau memberiku kado. Aku sangat menyukai. Kita berjanji akan memakainya bersama saat di Malaysia nanti setelah lebaran. Kita akan menjadi si kembar yang berbeda. Bak pinnag dibalah duo, tapi gadang sabalah. hahah. Semoga. 
            Beberapa waktu lalu, hampir saja aku mempertaruhkan persahabatan kita. Nyaris tersulut oleh sebuah foto yang dikirimi seseorang. Disana ada kau dengan seorang pria. Lantaran trauma masa lalu, aku malas jika berurusan dengan perempuan gara-gara seorang pria. Terutama denganmu. Tak ingin kisah dulu terulang lagi di balik diamku. Saat itu juga, aku langsung mengubungimu. Aku lebih rela kehilangan orang yang berfoto bersamamu. Wujudku terlihat buruk padamu, tapi hatiku teramat menyayangimu bahkan lebih besar dari pada sayangku pada dia di foto itu. Aku lebih takut dengan kenyataan kau mengkhianatiku dari pada aku dikhianati olehnya.
            Ternyata tak ada yang berkhianat. Aku yang memberi batas sehingga kebohongan terciptanya. Aku tak yakini pembelaannya, tapi aku mempercayaimu dan tak ingin hal dulu terulang. Kita bersahabat bukan karena merasa senasib. Tapi karena kita sangat berbeda dan saling melengkapi.
***
            Ini cerita masa lampau yang berusaha kujaga darimu. Takut hubungan kita akan berantakan. Tapi kurasa, sudah semestinya kau tahu.
            Tahun pertama di perguruan tinggi aku dekat dengan seorang pria. Konon katanya, dia menyukai diriku. Dia baik sekali padaku dan aku terjebak perasaan serupa. Walau sebenarnya aku tahu ia telah memiliki kekasih. Menyukai bukan berarti pacaran dan merajut kasih. Kami berteman baik. Sangat positif dan saling menyemangati. Pada malam hari, kami duduk di depan kosku. Membahas berbagai hal, mulai tema sastra yang sama-sama kami gandrungi hingga seni, fotografi, dan berpetualang. Ia adalah lelaki yang memiliki jiwa estetis dan penuh warna. Multitalenta. Sayang, ia tak menyadari banyak sarana untuk mengeksplornya. Butuh waktu hingga aku menyadari bahwa bukan aku saja yang terpukau.
            Suatu malam, ia mengirimiku pesan yang tak diduga. Perkataannya membingungkan sekaligus melukai hatiku. Saat menyadari paginya, aku langsung membalas pesan tersebut. Namun ia tak membalasnya lagi. Pagi itu kita ada kelas, ketika berpapasan di kampus, aku bertanya maksud dari ucapnya semalam. Namun ia hanya menggeleng dan berkata tak ada.
            Sebelum berjumpa dia, aku telah bercerita padamu, tentang pesannya yang membuatku kecemasan. Hal apa yang telah kuperbuat hingga ia berubah sedrastis itu. Kau menenangkan diriku, berkata jika ia macam-macam kau yang angkat bicara. Namun aku merasa ini masih penuh teka-teki. Pikiranku tak bisa beranjak. Sayang aku tak bisa melakukan apa-apa saat itu. Tak menemukan alasan di balik sikapnya.
            Waktu begitu deras berlalu. Aku telah terbiasa dengan jarak yang tercipta antara aku dan dia. Namun kau dengannya semakin dekat. Aku berusaha tak mencemburui kalian, aku tak berharap untuk sedekat dulu lagi dengannya. Aku kecewa, kenapa ia menelan mentah-mentah saja praduganya tanpa konfirmasi padaku. Hingga suatu ketika dari seorang kawan aku mengetahui sesuatu yang tak ingin kupercayai. Hatiku membantah itu. Ingin aku menanyaimu. Menginterogasimu dan meminta bukti. Tapi kusumbat mulutku. Kutahan bongkahan tanda tanya di hati bahkan hingga kini. Menceritakan semua, berarti melibatkan orang lain lagi. Seorang kawan yang bercerita padaku dan tentunya lelaki itu juga. Aku tak mau membawa-bawa orang yang sudah lama tenang hanya demi keegoan diri. Buktinya hanya aku yang masih terpaku pada kisah bertahun silam. Semua telah menganggap usai.
            Lama bagiku untuk memulihkan ketidakberterimaan hati. Hampir berujung dengan aku yang membencimu. Tapi aku tak bisa benar-benar membencimu. (Dulu) dalam tampang ketidak ada apa-apaan, aku berharap suatu saat mendengarkan apa alasanmu.
            Kemudian, aku belajar untuk memakhlumi. Menekankan bahwa pasti ada kesalahpahaman dari penerimaan yang masuk ke dalam pikiran kita. Yah, aku hanya salah paham, aku yakin kau tak mungkin begitu. Aku lebih lega dengan pikiran begini. Biarkanlah begitu. Manusia pernah kilaf dan silap, apalagi jika tak saling mengenal dengan baik. Aku rasa kita kini telah saling mendalami.
            Selepas itu, aku tak pernah menemukan keminusanmu dalam persahabatan kita. Walau aku sempat menjadi kawan yang buruk bagimu. Aku diam-diam menyimpan ketakutan. Maafkan aku. Aku hampir saja menumbuhkan benci dengan subur padamu. Namun kelembutanmu memangkas habis sebelum ia bertunas.
            Persahabatan kita seumur berjuangan kita di Universitas Negeri Padang hingga meninggalkan kampus kuning itu. Semoga akan terus berjalan hari ini, esok, dan seterusnya. Mari mengabadikan hingga setahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan sampai kita beranak binak, menua, hingga dilepaskan dunia, dan berjumpa di akhirat. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar