Selasa, 17 Mei 2016

Percaya Pada Diri Sendiri

Pekanbaru, 16-17 Mei 2016

Sastra, seorang Abang yang berakhir menjadi Pemredku. Dulu, selalu kudoai agar tak berjumpa ia di sekre. Bagaimana tidak? Saat melihat wajahku, bukan kabar yang ditanyai terlebih dahulu, namun berita dan segala tetek bengek PJ. Peace Bang ^_^
Namun padanya aku bisa bercerita dengan lepas.
 
***

Ada sebuah rutinitas sakral Ganto yang dulu sangat kuhindari, namun kini teramat kurindui. Rapat Evaluasi namanya. Yap, agenda Kepala Penelitian dan Pengembangan (Kalitbang) guna menilai sejauh mana kinerja awak -dari pj hingga hubungan sesama kru dan magang-.

Alasannya, lantaran aku terbiasa meluapkan emosi. Setelah reda aku melupakan semua. Akan tetapi, tak semua orang bisa begitu. Jika tak dikeluarkan, ia akan menumpuk dan membatu. Untuk itulah butuh kesempatan meungkapkan hingga lenyap.

Teringat saat masih magang, untuk pertama kalinya aku merasakan momen itu. Begini kisahnya. Masing-masing dari kami diberi selembar kertas HVS. Di pojok atasnya, Kalitbang memerintahkan untuk menuliskan nama. Hanya nama diri sendiri saja. Setelah itu, kertas-kertas polos bertuliskan nama masing-masing diopor ke teman sebelah. Kemudian, Kalitbang meminta kami menuliskan unek-unek (yang bersangkutan dengan organisasi) tentang orang yang tertera namanya di kertas tersebut. Sebenarnya, Rapat Evaluasi diadakan langsung tanpa perantara kertas. Namun, karena masa itu kami masih magang, maka digunakanlah media kertas agar tiada dendam (jika ada yang tak bisa menerima komentar buruk). Walau nyatanya, kami bisa menebak tulisan tangan siapa itu.

        Banyak komentar yang mengatakan bahwa aku egois, manja, dan galak, walau disanjung gigih dan ulet. Memang benar adanya. hahaha. Namun, ada satu orang yang memberikan komentar melenceng. Tak sesuai dengan hakikat Rapat Evaluasi versi Ganto.

"Wici itu terlalu baik, saking baiknya kebaikannya sering dimanfaatkan orang". Nah loh, itu evaluasi atau pujian atas pemikiranku yang teramat polos. Kalitbang langsung menyeloroh, "Evaluasi apaan itu. Wici polos banget, besok ini harus sedikit jahat agar tak dimanfaatkan orang, hahaha". Intinya begitulah, dengan redaksi yang seingat otakku saja. Sudah tiga tahun silam sih.

Ialah Sastra. Penulis komentar konyol itu. Seorang rekan yang telah kuanggap sebagai Abang. Saat itu aku juga sedikit bingung. Apa latar belakang sehingga ia bisa menyimpulkan serupa itu?

Setelah tiga tahun berlalu, aku baru menyadari maksud perkataannya. Ia ingin aku belajar untuk skeptis. Tak menerima mentah-mentah saja semuanya. Namun, mengolah dan memasaknya terlebih dulu. Padanya kuceritakan masalah hubunganku dengan lelaki dan wanita pulau seberang yang sudah kepalang runyem. Satu-satunya lelaki yang dengan gamblangnya kubagi kisah hidupku. Padanya juga aku pernah menangis lantaran sebuah masalah sepele di organisasi. Gramedia adalah tempat pertama kali kami jalan bersama.

Sepulang malam tahun baru di sekre, 1 Januari 2015 diperjalanan kami (aku, ia, dan Ucay) bertaruh tulisan siapa yang paling banyak diterbitkan sepanjang tahun itu. Kami saling berpacu memuat tulisan di media massa. Nyatanya aku menang kan, Bang dan Ucay? Kalian masing berhutang padaku. hahaha. Saat itu Sastra juga mewawancarai harapan kami di tahun baru. Kala itu aku menyebutkan ingin ke Makassar. September 2015 mimpi itu terwujud. Berkat aamiinnya aku dapat menginjakkan kaki di Pulau Sulawesi. Terima kasih Bang. :D Saat ini aku ingin ke Kalimantan dan Papua. Doakan lagi ya Bang. Hehe

Sebenarnya kami tak terlalu dekat perihal sehari-hari. Kami jarang berkomunikasi untuk hal tak perlu. Bercanda pun ala kadarnya saja. Namun, sedari awal mengenalnya di organisasi, aku bisa mencurahkan semuanya. Ia tahu kapan seorang Wici tengah terpuruk dan butuh telinga untuk mendengarkan duka. Padanyalah aku percaya.

Aku memang sering menjadi korban. Dimanfaatkan lantaran tak tegaan. Sejujurnya, aku sangatlah pencuriga pada orang bertampang tak beres. Namun, aku sering terkecoh berhadapan dengan orang yang bertingkah lemah lembut. Lantaran aku memandang orang seperti diriku. Jika iya adalah iya dan tidak adalah tidak. Karena tak ingin tertipu lagi, aku sering berlindung dalam rupa keras dan pantang kalah. Namun nyatanya, aku akan luluh jika dibaik-baiki. Aku tak bisa memberontak. Aku tertunduk tanpa perlawanan.

Saat ini aku hanya berdoa, teruntuk niat jahat dan harapan buruk seseorang untuk masa depanku, semoga tak berbalik pada orang yang meniati. Semoga Allah membukakan pintu kesibukkan agar ia berhenti mencampuri lagi masa depanku.

Ini yang kuyakini, dibohongi atau pun tidak aku tak rugi apa-apa. Aku sudah berhenti berharap pada makhluk ciptaan-Nya. Cukup kuserahkan saja pada Tuhan. Aku tak mempunyai niatan buruk, apalagi untuk menghancurkan hidup seseorang. Aku yakin di masa mendatang aku tak akan lebur walau diharapi oleh seseorang. Allah maha imbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar