Rabu., di awal Mei 2016
Jika masih
berlanjut hingga terus berlarut, catatan ini akan berlayar di hati-hati yang
terdampar.
Masalahku sudah sungguh berlebihan. Bukan hal wajar lagi
untuk diumbar kesana kemari. Aku memilih mendiam. Membiarkan saja pikiran dan
perasaan bergelut. Namun, aku tak menemukan solusinya. Malah semakin mengakar. Tak
berkesudahan. Sok kuat sekali lagakku menanggung seorang. Sejak itu, aku
memaksa tubuh menghasilkan endorfin yang berlebih. Hingga aku takut berakhir
menjadi seorang bipolar.
Ini yang harus kusadari. Aku membutuhkan manusia lainnya.
Sayangnya, aku terlalu gengsian untuk mengakui kelemahan. Namun, risetku akan failed
jika hanya mengandalkan otakku sendiri. Beruntung aku di keliling mereka
yang sangat pedulian. Tak perlu aku memula semuanya. Mereka mencurigai
gelagakku. Menanyai dan membuka telinga. Akhirnya, aku menyerah untuk berkutat
sendiri.
Kepada mereka yang kuamanahi, kuceritakan sekenanya. Sebisa
mulutku menguraikannya. Untuk hal yang tak mesti, aku lewati saja. Kepada yang
lain, aku hanya menjawab dengan senyuman. Maaf, bukan tak memercayai kalian. Cukup
kalian tahu aku tengah baik-baik saja. Bukankah lebih indah begitu?
Kusebut orang terpercaya. Ada lelaki dan perempuan. Di
antara mereka ada yang kuceritakan secara gamblang tanpa kututup-tutupi
kebodohanku. Aku rasa pemikiran mereka liberal (luas dan terbuka). Bisa
memaklumi ketidakwajaran. Selebihnya, kucurahkan seperlunya saja, untuk
menunjang keputusan. Yang kubutuhkan dari mereka adalah dasar pemikiran. Untuk
itu, aku butuh pandangan dari perempuan dan laki-laki agar dinamis. Ternyata,
jawaban dari mereka semua sama, "Sudahi saja".
Aku masih mencoba menjelaskan korelasinya. Tak ingin
penelitian ini berakhir dengan cukupkan
saja tanpa tahu latar belakang
sesungguhnya. Aku buat pembenaran atas sebuah kesalahan. Aku serang diriku
sendiri, aku akui kekonyolan. Namun, hanya kurang dari setengah yang menerima
dan berujar, "Lanjutkan, jika kau masih memiliki kepercayaan". Akan
tetapi, aku sangat krisis kepercayaan. Bahkan kepercayaanku hampir mati. Apa
gunanya menjalani tanpa itu. Ujungnya, hanya akan berdebat tanpa kesudahan.
Dilema akut. Suara yang kudapatkan berat pada kontra,
sedangkan aku berharap pada si pro. Aku coba meditasi. Bagaimanapun akulah
sipembuat keputusan. Aku uraikan dari awal hingga akhir. Kupikirkan segala
kemungkinan. Kuingat-ingat pertimbangan dari mereka yang terpercaya. Mereka
yang tak memaksa, namun meyakinkanku bahwa tak hanya satu manusia di muka bumi
ini.
Lalu, aku sugesti diri. Aku salurkan energi-energi
positif pada otak, lanjut kutaburkan ke seluruh syaraf. Aku maknai semua dengan
baik-baik. Agar aku tak berujung pada DID (kepribadian ganda). Aku cemas,
nantinya ada dua Wici dalam satu tubuh ini. Wici yang teramat polos dalam
menyikapi semua dan seorang Wici yang kasar dan blak-blakan. Aku ingin mereka
hidup berdampingan dengan baik.
Untuk itu, aku belajar menjadi normal. Mencintai dan
menyayangi dengan wajar. Memperlakukan sesuai dengan kodratnya. Akan tetapi,
aku masih merasa terjerembap dalam kekalutan. Merasa menjadi si dungu yang
terus-terusan di kelabui. Hingga akhirnya, kubuat perjanjian. Biasanya aku tak
menyentuh hal-hal yang meragukan suratan takdir Tuhan seperti itu. Namun, aku
merangkumnya dengan layak, karena aku takut menyalahi hukum Tuhan.
Tak ada pertemuan jika disengaja, kalau dirancang
mengatur jumpa, maka kita bertemu di akhirat saja nanti untuk
mempertanggungjawabkan semua. Aku wanti-wanti dengan berkicau, "Bohongi
saja aku sesuka hati". Aku percaya pada Tuhan yang akan membongkar dan
membisikkannya dengan indah (firasatku jarang meleset). Mari bertemu di akhirat,
jika kau berjumpa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar