Jumat, 6 Mei 2016
Merantau.
Sudah sangat melekat dalam hidupku. Terlahir di rantau, menuntut ilmu di
rantau, dan mengepak sayap di rantau.
Awalnya
berniat keluar dari pulau ini. Aku ingin ke Kalimantan atau Papua. Dua pulau
besar Indonesia yang belum pernah kupijaki. Sehingga keinginanku ke sana
semakin membesar. Sayang, keluargaku masih erat memegang paham, nak gadih ndak buliah pai jauah-jauah sorang
(anak gadis tak boleh pergi jauh seorang diri). Walau nyatanya, aku sering memberontak dan tetap mencuri-curi
kesempatan. Akhirnya, kuturuti pinta mama. Tak tega karena selalu menimbulkan
duka di hati beliau. "Jika ingin merantau cukup di Pekanbaru saja. Tak
boleh jauh dari pada itu atau tidak sama sekali," tegas beliau.
Hari
menjelang keberangkatan, mamaku kembali dilema. Tiket sudah terpesan. Uda pun
sudah di rumah untuk menemani papa dan nenek. Bersekongkol dengan Uda, aku
diiming-imingi uang. Sebanter dengan UMR Sumbar tiap bulannya. Kata mereka
(mama dan uda), bertahanlah di rumah sampai lepas lebaran. Tenangkan diri dan
pikiran. Lepaskan rindu pada rumah yang hampir empat tahun ditinggalkan. Kata
mereka, aku kan juga telah freelance di
beberapa media cetak atau online. Aku
diminta untuk hidup senang saja dulu. Tak usah memikirkan apa-apa. Dapat uang
lagi.
Saat pulang bareng bersama Uda minggu kemarin, ia
berkata:
Uda: "Nanti puasa pasti sepi, karena Ici tak
ada."
Aku: "Lagian Uda kan kerja."
Uda: "Tapi kan akan sering pulang. Gak asyik kalau tak ada Ici."
Aku:
"Biarlah Wici memcoba hidup Da, sudah saatnya."
Ahh, Uda. Tak
berubah. Masih saja memperlakukanku dengan manja. Aku bukan dedek kecil Uda
lagi. Biarkanlah aku tumbuh sendiri dengan indah tanpa dipupuk terus-terusan.
Sebenarnya,
tujuanku bukanlah itu. Kalau masalah kesenangan (uang, makan, tempat tinggal,
dan lainnya). Di rumah aku mendapatkan semua. Tanpa bekerja pun, tabunganku
masih cukup untuk bertahan sampai lepas lebaran. Itu di luar uang dari Uda dan orangtua
seperti yang dijanjikan. Namun, yang kuinginkan mencari pengalaman. Merasakan
hidup. Bukan dihidupi lagi. Bahkan ingin memberi hidup pada mereka yang
kukasihi.
Mendengar
itu, Uda bertanya pada sosok yang selalu menguatkanku dalam mengambil
keputusan. "Biarkanlah ia pergi. Jangan patahkan bunga yang akan
mekar". Ialah papa. Sosok yang menjadi panutanku dalam segala hal.
Teringat
akhir April lalu, aku mengikuti seleksi Jambore Pemuda Indonesia ke Kalimantan
Tengah. Saat interview psikologi, interviewer bertanya padaku, "Siapa motivator luar biasa
dalam hidupmu?" Kujawab, "Papa".
Beberapa
hari sebelum berangkat, aku mengamati papa. Ia lebih sering murung. Jarang
duduk di sampingku mendengarkan ocehanku seperti biasanya. Ia menyibukkan diri.
Aku tahu, dalam hatinya sama seperti mama, berat melepaskan kepergianku. Tapi,
papa adalah orang yang memercayai setiap keputusanku. Mendukung apapun itu. Ia tahu
seorang Wici tak akan mengecewakannya.
Untuk
itulah, semalam dengan melangkah mengucap bismillah,
kubawa niat tulus ke Tanah Melayu ini. Banyak harapan kugantung disepanjang
perjalanan. Sewaktu kecil, aku pernah bermimpi, sampai sekolah atas di
Bukittinggi, pendidikan tinggi di Padang, dan bekerja di Pekanbaru. Alhamdulillah, Allah selalu menyayangiku
dengan mengabulkan segala pintaku. Mari bersahabat Tanah Melayu. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar