Kamis, 14 April 2016

BERKOMITMEN



tentang Si A
Tadi siang saat tengah berselancar di facebook, ia kembali menyapa. Aku membiarkan saja dengan berbagai gejolak di pikirannya. Sudah terhitung hampir empat bulan aku mencukupkan segala perihal tentangnya. Terakhir kali aku melihatnya dengan gagah datang di wisudaku dan mengucapkan selamat. Aku akui ke-gantle-annya.
Lagi, tadi ia memohon agar dimaafkan. Apa yang mesti kumaafkan atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Lalu, kembali aku mendiamkan. Tak tega rasanya menghancurkan segala angannya tentangku. Tentang gadis polos yang penuh belas kasih. Yaaah, setidaknya begitu ia menilaiku.
Sering temanku menjadi sasaran curhatannya. Betapa ia merasa bersalah karena membuatku melepaskan semua. Aku pun heran sebegitu percayakah ia padaku? Hingga, hanya ia seorang yang tak tahu apa yang telah kuperbuat. Teramat polos memang. Atau ia berusaha menutup mata agar tak kehilanganku. Entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.
Bisa dikatakan segala pintaku tak pernah ia tolak. Ia memperlakukanku bak ratu yang tak boleh dikecewakan. Ternyata, aku tak butuh itu semua. Tak pantas aku diperlakukan seperti itu olehnya.
Berkali-kali aku mencoba untuk menyudahi. Namun, aku kembali menemukannya dengan segala kebaikan. Saat aku memutuskan untuk mengakhiri, kembali ia memunculkan wajahnya, dan lagi aku urungkan itu. Tak tega aku melukainya. Bersamanya aku hanya dihinggapi perasaan kasihan. Hingga akhirnya kucukupkan untuk bertemu dengannya, agar aku tak terus-terusan merasa kasihan. Ia tak pantas untuk dikasihani. Ia terlalu baik hanya untuk menampung belas kasihanku.
***
tentang Si J
Selain itu, aku juga telah memiliki seseorang (setelah bersamanya) yang tak ingin kutinggalkan dalam berbagai keadaan. Sudah sering rekan-rekan dari berbagai leting mengingatkan tentang hukum Tuhan yang tak bisa dielakkan. Aku paham itu. Nyatanya, aku mengabaikannya. Bukan karena aku tak takut. Aku hanya tak memiliki upaya untuk menyelesaikannya. Pun, aku tak dituntut untuk memilih dan meninggalkan.
Pikirku, seseorang itu menerima ketidakdewasaanku dalam menjalani hubungan. Kupikir, seseorang itu memberiku waktu untuk menyelesaikannya sendiri. Tak perlu ikut campur tangan karena ia memercayai perasaan yang bersemanyam di hatiku. Sayang seribu sayang, jika tak disuarakan, siapa yang akan mengerti isi hati seseorang. Aku dengan pikirku dan ia bersipaku dengan pikirannya. Tak pernah ada komunikasi perkara itu. Batinku, ia memahami semua. Nyatanya, aku menambah lagi daftar orang yang kukecewakan.
Tak pernah kumenyadari, polah kekanak-kanakanku diartikan serius oleh seseorang itu. Tak sadar seseorang itu, segala upaya kulakukan untuk bertahan bersamanya. Bahkan berkali-kali aku berusaha menepis pria-pria lain. Walau terkadang aku sempat tergoda, namun aku menemukan hatiku telah terkunci padanya.
Memang, tabiat kasar kutunjukkan padanya. Agar ia tak semena-mena padaku. Pantang bagiku untuk mengemis perasaan. Aku pancing ia sampai ke ubun-ubunnya. Hanya untuk membuktikan seberapa sanggup ia bertahan denganku. Seberapa sabar ia menghadapiku. Kuumbar hal-hal gila dari mulutku untuk membuatnya marah. Namun, tak pernah aku temukan ia marah padaku. Hingga itu menjadi kebiasaan bagiku. Sedikit saja aku tersinggung karenanya, aku mengamuk-ngamuk tak jelas. Galak memang. Bak filosofi seorang perempuan yang berasal dari tulang rusak pria yang bengkok. Ia akan patah jika dipaksakan, namun ia akan semakin bengkok jika dibiarkan. Harusnya aku dibimbing bukan dibiarkan saja semakin sesat.
Nyatanya, ia menyimpan semua tingkahku. Ia merekam segalanya. Lalu ia mempraktikkannya juga. Ia belajar dari guru yang tak pernah melakukannya. Ia mencontoh dari guru yang hanya modal omong saja. Guru yang baik adalah guru yang bisa membuat muridnya melakukan lebih dari yang diajarkan. Setidaknya, aku telah berhasil menjadi guru yang baik, karena ia mengerjakan lebih dari yang aku ucapkan.
Siang telah berganti malam dan malam telah menjadi siang. Semua telah berlalu. Mengutuk yang lalu tak akan membuat hari ini lebih damai. Aku mendapatkan pelajaran berharga. Dan hanya satu jalannya berusaha untuk ikhlas dan memaafkan.
***
tentang Si A
Segala tingkahku telah terbayarkan. Tuhan memang hakim yang adil. Dulu aku mengkhianati dan sekarang aku yang terkhianati. Tanpa ia harus tahu itu, ada orang lain yang membayarkan lunas. Sepertinya, Tuhan sayang padanya, hingga ia tak harus merasakan sakit atas nama pengkhianatan.
Walau utangku telah lunas, namun aku masih dirundung perasaan bersalah. Maafnya belum kudapatkan. Sudah saatnya kuhentikan pengharapan baginya. Sampai kapan ia akan beranggapan bahwa semua salahnya. Tak ada yang salah padanya. Aku yang tak benar dari awal. Seharusnya saat menyudahi semua, langsung kutuntaskan sekaligus. Bukan cuma perkara mengakhiri tapi juga mengakui. Tapi apa daya, aku tak memiliki tenaga lagi saat itu. Bahkan sampai detik ini keberanianku belumlah timbul. Namun aku berjanji, hingga saatnya nanti, kekuatanku telah terkumpul akan kutemui ia. Apapun yang akan dia katakan dan lakukan, aku terima semuanya. Asal kuperoleh maafnya.
***
tentang Aku dan J
Banyak hal yang telah mengubah hidupku akhir-akhir ini. Awal tahun lalu, telah terbesit di hati untuk tak bermain-main lagi (walau nyatanya aku tak pernah main-main dan dengannya telah kupercayakan masa depan). Namun batinku tergoncang, niat baikku malah berbuah lara. Sempat berpikir tobatku sia-sia. Hingga akhirnya aku tersadar, tak ada yang salah dengan niat untuk memperbaiki diri sendiri menjadi lebih baik. Aku tak mendendam, apalagi akan membalas ulahnya. Kuserahkan saja pada Tuhan. Walau di lubuk hati terdalam masih menyimpan ketidakpercayaan padanya atas kebohongan akut yang kuterima. Namun, aku yakin ia telah insaf. Saat ini kucukupkan untuk mengenal pria lain. Aku beri ia satu kesempatan lagi. Jika ia sia-siakan, berarti ada lelaki lain yang lebih tepat mendapatkan. Karena aku yakin Tuhan akan memasangkan orang yang berniat baik dengan orang tulus juga. ###

                                                                                                                             Padang, 14 April 2016

6 komentar: