Kamis, 21 April 2016

Sayonara Padang


Ketika keadaan telah menuntut, memantaskan diri adalah keharusan 

Kota itu yang mengajarkanku akan kemandirian
Mengubah persepsi keluarga dan lingkungan
Kota yang berhasil menarikku keluar dari zona nyaman
Menjadikanku laksana hal yang mesti diperhitungkan
 
***
            Sabtu sore di Padang, 19 April 2016 kutinggalkan kota itu. Kota yang sebenarnya tak pernah ingin kutempati. Kota yang seram dalam bayanganku. Dulu, sewaktu memutuskan untuk berjuang di sana aku gamang sekali. Dalam mataku, kota itu kelam, bengis, dan kejam. Ketika memandangi sekitar, ada perasaan tak damai yang menyambut. Apa yang dikandung oleh kota itu sehingga membuatku tak nyaman? Apa karena isu-isu yang disandang kota itu? Apa karena kegilaan di jalan raya kota itu? Atau karena suhu kota itu yang berbeda 360 derajat dibandingkan kotaku? Entah. Kusimpulkan kota itu menakutkan.
            Namun, aku punya mimpi. Hanya kota itu yang bisa mewujudkannya. Bahkan aku rela bersabar setahun agar bisa meraihnya. Gagal dikesempatan pertama, tak membuatku patah arang. Aku hanya punya satu rencana dan tak punya opsi lainnya. Maka hanya ada satu jalan, menyemogakan mimpi itu.
            Aku bersyukur. Apa yang kuinginkan selalu dikabulkan Tuhan. Walau dengan jalan yang tak mulus bahkan penuh liku. Bisa saja aku berputar haluan saat tersendat di jalan. Namun aku maju, pantang untuk mundur. Pada waktunya, Tuhan pun menyerahkan takdirku.
            Perang argumen terjadi di kepala. Antara perasaan takut akan hal absurd dan tentang mimpi yang harus kusegerakan nyata. Apalagi, aku ditentang oleh orangtua, terutama mama. Tak ingin beliau aku berjuang sendirian di sana. Tak percaya beliau aku bisa bertanggung jawab atas diri sendiri. Beliau kubur egonya dan mengantarkan ke kota itu. Walau aku tahu di belakangku penuh dengan derai-derai air mata.
***
            Bulan pertama hingga kuselesaikan semester I setiap minggunya aku selalu pulang. Aku hanya kuliah empat hari, dari Senin hingga Kamis. Kamis sampai Minggu di rumah. Hanya beberapa kali aku tak pulang. Pun karena ada kegiatan KRIDA dan Kemah Bakti Mahasiswa di kampus.
            Pada semester kedua, aku menemukan kehidupan. Aku jatuh cinta akan suatu hal dan membuatku betah di kota itu. Aku bertahan berminggu-minggu di sana. Banyak hal yang kupelajari hingga aku semakin terlena dan ingin menggali lebih. Aku juga menemukan rumah kedua. Tentunya selain kosku. Persepsi tentang kota itu tiba-tiba perubahan. Aku melihat kota itu terang. Penuh pencapaian. Jika aku mau berusaha. Lambat laun, sesuatu dalam diriku keluar. Sudah lelah ia terlalu lama bersembunyi. 
            Sejak saat itu. Pandangan orang tentangku terbantahkan. Aku yang dulu dikenal manja. Bisa bertahan tanpa harus merengek ini dan itu. Aku yang dulu tak bisa sendiri. Bisa hidup dengan baik tanpa bergantung. Aku yang dulu dipikir tak bisa apa-apa. Bisa mengerjakan pekerjaan rumah dengan rapi. Aku yang dulu selalu pergi diantar dan pulang dijemput. Bisa pergi kemana-mana seorang diri.
            Selain sibuk dengan perkuliahan dan organasasi, aku mengerjakan pekerjaan di kos sendiri. Mencuci baju, menyetrika, memasak, dan merapikan istanaku. Hanya sekali seumur hidup aku menggunakan jasa laundry. Saat itu, aku terserang demam tinggi dan flu berat setelah dua minggu mengikuti dua acara. Pertama sebagai Ketua Pelaksana Pelatihan Keterampilan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional di Bukittinggi. Minggu selanjutnya, sebagai Peserta Penulisan Esai Remaja Balai Bahasa Provinsi Sumatra Barat di Padangpanjang. Itulah kali pertama dan terakhir aku menggunakan jasa laundry sampai detik ini.
            Kota itu menjadi saksi hobi baruku. Jika tengah jenuh dan buntu untuk menggarap proyek menulis, maka aku berlaga di dapur. Aku praktikan bakat memasak yang tak pernah kusadari sebelumnya. Di rumah aku jarang memasak, bahkan bisa dikatakan tak pernah. Paling hanya menemani mama dan mengupas ini dan itu. Jadi jangan ragu, aku bisa memotong dan mengiris dengan baik tanpa landasan. Teman kosku adalah korban eksperimenku. Lucunya, mereka selalu menyukainya. Dan berkata, sesuatu yang tercipta dari tanganku pasti enak. Walau dengan bahan dan alat ala kadarnya. Padahal, aku takut setengah mati jika seandainya mereka keracunan. Hahaha.
Beberapa hasil tanganku.
  
            Selanjutnya, kota itu adalah jalan yang mengantarkanku ke kota-kota dan negara lainnya. Baik perwakilan mahasiswa, kru, provinsi, bahkan atas nama sendiri. Berkat itu, hobi jalan-jalanku dapat tersalurkan. Awalnya, Januari 2014, mengikuti studi media ke Yogyakarta dengan menggunakan bus kampus. Itulah pertama kalinya aku menggunakan bus untuk perjalanan panjang, tiga provinsi yang kusinggahi. Biasanya hanya ke Pekan Baru, lebih kurang enam jam. Masih tahun itu, dipertengahan Oktober aku mengikuti Pelatihan Nasional Pers Mahasiswa di UIN Sumatra Utara. Kemudian di tahun berikutnya, Januari 2015 kembali melakukan studi media tujuan Bandung dan Jakarta sebagai panitia. Lanjut, Agustus 2015 aku dipercaya oleh Provinsi Sumatra Barat sebagai perwakilan untuk mengikuti Gerakan Indonesia Membaca-Menulis di Jakarta. Perjalanan terakhir dengan menyandang status mahasiswa adalah mengikuti Musyawarah Kerja Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia di Makassar dan menjadi satu-satu perwakilan dari Pulau Sumatra pada September-Oktober. Selebihnya, adalah mengikuti kegiatan di berbagai kota yang ada di Sumatra Barat. (Tak teringat lagi dimana dan kapan pastinya).
            Tak sampai di sana, dua hari pascawisuda, untuk suatu hal yang kujadikan alasan agar bisa mengepakkan sayap keluar. Aku berpetualang ke Jakarta-Semarang-Jakarta-Singapura-Malaysia-Padang. Kali pertama aku menginjakkan kaki di negara lain. Walau sebenarnya tak seistimewa yang ada dipikiran dulu. Tapi, aku telah berani melawan rasa takut dan ketidakberdayaan. Bukan karena uang banyak, namun karena aku ingin membuktikan uang bukanlah segala-galanya.
  
***
            Sapa yang menyangka, gadis manja ini bisa melakukan segala hal yang ia inginkan. Menjadi anak perempuan satu-satunya merupakan sarang kecemasan bagi keluarga. Luka sedikit saja orangtua akan menye-menye. Sakit sedikit saja orangtua akan pucat pasi. Memikirkan aku berada sendiri di tempat asing mengakibatkan orangtua tak tidur semalaman. Aku sering menambah-nambah beban pikiran orangtua. :(
            Sejak beranjak remaja, aku tak pernah dituntut melakukan apa-apa. Cukup saat sekolah dasar aku ditimpa untuk bertanggung jawab dan displin. Setelah menginjak sekolah menengah apalagi sekolah atas pekerjaanku mulai diringankan. Jika aku telat pulang sekolah, semua telah terselesaikan. Aku hanya disuruh untuk fokus sekolah. Begitulah orangtuaku, aku dibiarkan saja. Namun, pendidikan keras sewaktu kecil telah membentuk karakterku. Untunglah sejatinya aku memang mandiri. :D
***
            Saat mengemasi barang-barang, aku ditemani adik-adik kos. Ada yang berkata, "Sedih melihat Kakak akan pergi". Aku hanya bisa tersenyum. Hatiku berkata, "Aah Dik, Kakak hanya tak bisa menangis saja, kalau tidak sudah banjir kos-kosan ini". Itulah masalah besar dalam hidupku, aku tak bisa menangis dengan mudah. Apalagi masalah pertemuan dan perpisahan. Itu memang sudah hukum semesta.
    
Sebelum
   
Sesudah
***
            Pukul 19.20 WIB aku telah sampai di rumah. Sesampai di rumah karton-karton berisi buku langsung dibongkar papa. Papa memang begitu menggilai buku-buku. Pun karena dulu papa juga punya toko buku. Impian terbesarku sekarang, selain akan mengajak papa keliling Indonesia, aku juga akan membuatkan papa toko buku kembali untuk hari tuanya. Agar ia memiliki aktivitas bermakna yang disukainya.
            Dulu waktu masih sekolah dasar, aku bersama Uda pernah membuka Taman Bacaan. Hobi membaca dan mengoleksi majalah Bobo, Ina, Ino, Donal Bebek, dan aneka majalah serta komik anak-anak lainnya menimbulkan ide untuk mendirikan Taman Bacaan Adeci (Adet Wici). Nama itu memang selalu digunakan untuk apapun di keluarga kami. Satu majalah kami sewakan Rp100,00 dalam tenggang waktu seminggu. Sekarang, lemari pakaian sewaktu kos, kujadikan lemari bukuku selama kuliah. Perpustakaan kecil kembali kubuka di rumah. Silakan dimanfaatkan bagi yang ingin menambah wawasan. Kali ini tanpa pungutan. :D
     
Di kos                             Di rumah
***
            Sebenarnya banyak hal yang ingin kucurahkan. Aku bingung yang mana lagi. Tulisan ini sungguh melantur. Tak selesai satu topik, aku lari ke topik baru. Kisah tiga setegah tahun di sana tak akan bisa kurangkum dalam tulisan beberapa halaman ini. Namun, kota itu adalah kota yang berjasa dalam hidupku. Kota yang melahirkan kembali aku dalam rupa yang lebih tanggung. Kota yang memberiku banyak pelajaran hidup. Sayonara Padang. Terima kasih.
Bukittinggi, 20 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar